“Cowo Banget”: Memahami Makna Toxic Masculinity di Indonesia

Bagaimana kita membentuk seorang anak lelaki menjadi seorang pria?
Berefleksi dari pertanyaan ini, Mahardhika Sadjad dan Fajri Siregar membahas isu toxic masculinity di Indonesia. Mereka menemukan bahwa kemauan untuk memahami toxic masculinity menjadi pintu masuk untuk membahas ketidaksetaraan jender. Sayangnya, ini belum cukup untuk mengatasinya.
Ditulis oleh Mahardhika Sajad dengan bantuan pengumpulan data oleh Fajri Siregar.

Diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Syarafina Vidyadhana. Versi Bahasa Inggris dapat dibaca di sini

Kredit foto: Pixabay/Carlos Quintero

“Sewaktu kecil, teman-teman sekolah, guru, kemudian kakak-kakakku sendiri, misalkan kalau aku nangis karena suatu hal, pasti pada bilang, “Jangan nangis dong lo, kayak cewek aja. Jadi cowok nggak boleh nangis, nggak boleh lemah.” Laki-laki harus lebih kuat dari perempuan.”

(Jaka, pseudonim, kutipan wawancara)

Sewaktu saudara perempuan saya mengandung anak laki-lakinya, kami berdiskusi panjang soal apa-apa yang diperlukan untuk mengasuh seorang laki-laki. Kami sadar akan tuntutan masyarakat agar laki-laki kuat dan aktif, tapi kami ingin supaya ia juga tenggang hati, lembut, dan peka dengan orang lain dan kebutuhan sekitarnya. Kami tidak berdiskusi seperti ini saat keponakan perempuan saya lahir enam tahun silam. Mungkin karena dibesarkan dalam keluarga dengan tiga bersaudara perempuan, tak satupun saudara laki-laki, tanpa dibahaspun kami menyadari pentingnya mengajarkan perempuan supaya cerdas, mandiri, dan kuat terutama karena masyarakat kita seringkali memaksakan sebaliknya. Jika kita harus bekerja keras memberdayai anak-anak perempuan supaya kelak mereka dapat memenuhi potensinya; bagaimana sebaiknya kita membesarkan anak laki-laki? Mungkin kita dapat menemui jawabannya dengan mempertanyakan pemahaman dogmatis tentang maskulinitas, atau yang kerap kita kenal dengan istilah “toxic masculinity.”

Artikel ini disusun berdasarkan wawancara informal semi-terstruktur dengan empat perempuan Indonesia dan tujuh laki-laki Indonesia. Fajri dan saya mengawalinya dengan menghubungi empat perempuan Indonesia yang mengenali dirinya sebagai feminis, aktivis, dan/ atau peneliti yang paham kajian-kajian feminis dan gender. Mereka membantu mengukuhkan pemahaman kami mengenai konsep-konsep utama yang relevan dalam menelusuri toxic masculinity. Selanjutnya kami mewawancarai tujuh laki-laki, dengan rentang usia 25–35 tahun, tentang pengalaman mereka “menjadi laki-laki” di Indonesia, bagaimana hal tersebut dibentuk dan dipengaruhi oleh hubungan-hubungan mereka dengan perempuan dan laki-laki lain, dan pergumulan mereka menapaki berbagai fase hidup seperti pubertas dan keayahan.

Dari keseluruhan peserta laki-laki, tiga di antaranya mengenali dirinya sebagai laki-laki heteroseksual, tiga lainnya sebagai laki-laki homoseksual, dan satu sebagai queer. Meski ketujuh peserta wawancara memiliki latar belakang etnis dan agama berbeda-beda, semua setidaknya lulusan sarjana. Sebagian besar peserta tinggal atau pernah tinggal di kota-kota besar di Indonesia, terutama Jakarta, dan pada umumnya pernah atau sedang tinggal di luar negeri. Mereka memiliki tingkat pemahaman yang beragam akan perdebatan seputar gender dan seksualitas, meski hanya empat peserta yang sebelumnya akrab dengan istilah “toxic masculinity”.

Kami mengakui bahwa peserta riset[1] kami tidak representatif terhadap masyarakat Indonesia secara luas; oleh karena itu, ini bukan sebuah upaya untuk menyatakan klaim-klaim apapun yang dapat mengeneralisir toxic masculinity di Indonesia. Alih-alih, artikel ini menawarkan wawasan tentang bentuk-bentuk toxic masculinity yang ada pada konteks Indonesia; wawasan yang, kami harap, dapat berkontribusi pada renungan dan keterlibatan pembaca dalam diskusi-diskusi terkait relasi dan ketimpangan gender.

Patriarki, Maskulinitas Hegemonik, dan Maskulinitas Beracun

Istilah “toxic masculinity” semakin umum dijumpai dalam obrolan soal gender, terutama tapi tak terbatas pada media Barat (contohnya Putri 2015; Salam 2019; Salter 2019). Istilah ini sering kali digunakan untuk menggambarkan bagaimana perilaku dan nilai maskulin ideal, seperti keteguhan, pemendaman emosi, dan kecenderungan terhadap kekerasan, berdampak korosif bagi laki-laki dan perempuan. Akan tetapi, toxic masculinity sering kali disalahpahami sebagai kritik terhadap maskulinitas dan laki-laki secara umum. Banyak orang memandang istilah tersebut sebagai dogma generalisasi bahwa semua maskulinitas pasti beracun dan, oleh karena itu, semua laki-laki pasti beracun. Di sini kami ingin menekankan: Itu bukan yang kami maksud dengan toxic masculinity.

Kita perlu berangkat dari premis mendasar bahwa maskulinitas bersifat plural. Maskulinitas tidak merujuk pada laki-laki belaka, meski masyarakat terbiasa mengaitkan perilaku dan nilai maskulin dengan laki-laki. Ada banyak cara untuk mengekspresikan maskulinitas. Tetapi, terdapat konstruksi dan gagasan dominan yang membentuk bagaimana masyarakat mengajarkan anak laki-laki supaya menjadi “pria sejati.” Konstruksi dominan tersebut lebih dikenal dengan sebutan “maskulinitas hegemonik.” Connell (2014:8) menerangkan:

Maskulinitas hegemonik artinya pola maskulinitas yang paling dimuliakan, yang menduduki posisi sentral dalam sebuah struktur relasi gender dan keistimewaan dari posisinya tersebut membantu menciptakan ketertiban gender secara keseluruhan, terutama subordinasi para perempuan.

Maskulinitas hegemonik mereproduksi struktur-struktur rumit yang terdiri atas berbagai relasi gender dalam suatu sistem patriarki; sistem yang menempatkan para perempuan dan kelompok marjinal lain yang tidak mengikuti konstruksi gender dominan pada posisi yang merugi. Oleh karena itu, maskulinitas juga bersifat relasional , sebab ia tidak dipahami dalam ruang hampa. Ini dijelaskan oleh salah seorang peserta wawancara, kandidat doctoral yang menekuni bisang studi decolonial:

Terdapat berbagai tipe maskulinitas, sebab ia bersifat plural. Maskulinitas hegemonik mengajarkan laki-laki untuk mendominasi… Laki-laki harus kuat, jadi pemimpin jantan yang perlu menundukkan perempuan-perempuan dalam hidup mereka, laki-laki adalah makhluk rasional, mereka tidak dapat mengungkapkan perasaan-perasaan yang dianggap lemah, seperti kesedihan. Hal ini merenggut kesempatan mereka untuk menjadi manusia seutuhnya yang memiliki berbagai macam emosi. Tipe maskulinitas hegemonik ini beracun bagi laki-laki maupun perempuan,  hubungan antar keduanya, dan hubungan antar sesama laki-laki dan sesama perempuan.

Maskulinitas hegemonik tak hanya diletakkan sebagai lawan feminitas, tetapi juga lawan bentuk-bentuk maskulinitas lain yang termarjinalkan di dalam masyarakat (Connell, Ibid.). Penting untuk menekankan bahwa istilah toxic masculinity tidak bermaksud mengejikan laki-laki dan konstruksi-konstruksi maskulin. Sebaliknya, ia bertujuan menyorot perilaku-perilaku atau nilai-nilai maskulin yang menindas para perempuan dan laki-laki yang gagal memenuhi citra “ideal” yang ditetapkan masyarakat patriarki.

Pengalaman dengan Toxic Masculinity dalam Konteks Indonesia

“Keluargaku tuh nyuruh aku kalau jalan harus seperti laki-laki. Suara harus jadi lebih tegas.”

(Firman, pseudonim, kutipan wawancara)

Ketika diminta berpendapat mengenai toxic masculinity, kesebelas peserta menggunakan kata-kata serupa untuk menggambarkan sifat-sifat yang mereka rasa masuk ke dalam kategori toxic masculinity, misalnya “dominasi,” “kekuatan,” “kuasa,” dan “kekerasan.” Sebagian besar mengaitkan sifat-sifat ini dengan penindasan dan objektifikasi perempuan, menyebut subordinasi peran perempuan dalam rumah tangga atau normalisasi gurauan seksis sebagai contoh. Seiring berkembangnya pembicaraan kami, para peserta laki-laki diminta merenungkan pengalaman pribadi mereka saat tumbuh dewasa, dan ketujuh peserta mengenali keterbatasan  serta pergulatan mereka dalam memenuhi ekspektasi masyarakat akan sifat-sifat maskulin yang “ideal.”

Kisah-kisah mereka melukiskan bagaimana ekspektasi-ekspektasi tersebut memengaruhi kepercayaan diri mereka, membatasi atau setidaknya membentuk pilihan-pilihan mereka; bagi sebagian orang, hal ini juga berkontribusi pada perasaan dikucilkan dan kekalutan akan identitas seksual mereka. Saat ditanya kapan atau bagaimana mereka mulai memandang diri sebagai “cowok,” sebagian besar peserta merujuk ke perkawanan di masa kanak-kanan, mainan, dan berbagai kegiatan olahraga yang dianggap “pantas” untuk identitas gender mereka. Sementara itu, segelintir peserta menceritakan kesulitan mereka berbaur dengan kelompok sesama gender seumurannya. Saat masih anak-anak, bahkan sebelum menyadari orientasi seksual mereka, tiga peserta yang mengenali diri sebagai gay mengalami perisakan oleh laki-laki sebaya dan merasa lebih aman berkawan dengan perempuan.

Contohnya, Firman (pseudonim), yang semenjak dewasa mengenali diri sebagai queer, sering mengalami perisakan saat masih kecil. Anak-anak seumurannya sering mengejeknya dengan sebutan banci atau bencong, dan anggota keluarga yang “niatnya baik” mendesak supaya ia mengubah gayanya berjalan dan berbicara menjadi lebih “laki.” Baru di SMA, saat  ia secara sadar memutuskan untuk lebih banyak diam dan menarik diri dari pergaulan, perisakan itu mulai mereda. Gagasan bahwa anak laki-laki dan laki-laki dewasa hanya boleh bermain dengan mainan tertentu, berjalan dan berbicara dengan gaya tertentu dengan risiko dikucilkan jika tidak menyesuaikan diri, adalah bagian dari hal-hal yang membentuk pemahaman kita tentang toxic masculinity. Gagasan dan perulaku seperti ini mencegah kita memandang maskulinitas sebagai hal yang plural, memaksakan pandangan sempit tentang cara menjadi laki-laki “sejati.”

Sepanjang wawancara, seiring kelanjutan kisah-kisah mereka dari masa kanak-kanak ke masa remaja, sebagian besar peserta mengaitkan maskulinitas dengan olahraga, Paskibra, dan tawuran antar sekolah. Saat SMA, Irfan mengenali tiga kelompok yang dipandang paling “laki”:  “brigade,” yang merupakan otot otoritatif OSIS; “pencinta alam” yang gemar mendaki gunung dan mencari petualangan; dan “cowok bandel” yang menentang otoritas dengan bolos sekolah, merokok, dan berkelahi. Meski ketiga kelompok ini merepresentasikan maskulinitas hegemonik,  masing-masing kelompok mengekspresikan maskulinitasnya dengan cara yang berbeda.

Irfan bercerita, kala itu salah seorang siswa “cowok bandel” di sekolahnya  memamerkan bahwa ia berhasil membuat mabuk seorang siswi dan berhubungan seks saat siswi tersebut dalam keadaan tidak sadar. Kelak, saat Irfan dewasa, barulah ia menyadari bahwa kejadian tersebut merupakan pemerkosaan. Tapi Irfan tak tahu pasti apakah insiden tersebut benar-benar terjadi atau bualan belaka. Apapun itu, yang jelas sang siswa menceritakannya dengan gaya penuh kemenangan, tanda bahwa dominasi atas perempuan tidak hanya dipandang wajar, tapi juga didukung sebagai ungkapan maskulinitas. Menariknya, meski dianggap “cowok banget” di kalangan sekolah sendiri, kelompok “cowok bandel” ini masih “kalah bandel” dari siswa-siswa STM; olehnya,  mereka dilempari beha sebagai ejekan karena enggan terlibat tawuran antar sekolah. Dominasi atas perempuan, kekerasan sebagai ajang unjuk maskulinitas, dan pengaitan feminitas dengan sifat lemah (dalam hal ini ditunjukkan dengan beha, yang merupakan pakaian dalam perempuan) adalah hal-hal yang semakin menguatkan toxic masculinity.

Meski cerita di atas terdengar seperti contoh yang ekstrem, toxic masculinity juga ditampilkan melalui bentuk-bentuk lain yang lebih bernuansa. Neqy, penggagas Komunitas perEMPUan dan aktivis, membahas pengalamannya pada suatu unjuk rasa di Jakarta.

Bersama teman-teman yang mengangkat isu kekerasan terhadap perempuan, kami membentuk satu barisan, kebanyakan perempuan. Tiba-tiba ada mahasiswa-mahasiswa nih, cowok-cowok, mahasiswa yang jaketnya masih pada mulus, mereka berteriak, “Yang cewek mundur!”. Gue dan teman-teman bilang, “Nggak, kami di sini. Kami sudah biasa demo dan baik-baik aja”.

Pengalaman Neqy menyingkap bagaimana ekspektasi maskulin untuk “melindungi” perempuan sering kali justru berujung mengucilkan perempuan. Asumsi para mahasiswa bahwa laki-laki secara inheren lebih mampu mengatasi situasi-situasi yang kemungkinan berbahaya, seperti pada unjuk rasa, gagal mempertimbangkan pengalaman-pengalaman orang lain. Pemisahan peran berbasis gender, alih-alih kemampuan, berpotensi membahayakan laki-laki yang kurang berpengalaman dan meremehkan kemampuan perempuan untuk berperan aktif di ruang publik.

Gagasan bahwa laki-laki harus melindungi perempuan tidak hanya mungkin berujung pada penindasan perempuan, ia pun bisa merugikan laki-laki karena mereka senantiasa dituntut untuk menunjukkan kekuatan dan menyembunyikan kerentanan. Jaka (pseudonim), misalnya, berbagi soal pengalamannya di masa lalu menggunakan alkohol dan napza sebagai mekanisme meredam perasaan-perasaan seperti kesedihan. Lima peserta laki-laki mengaku jarang mendiskusikan isu-isu terkait perasaan atau emosinya dengan kawan lelaki.

Setelah dewasa, para peserta merasa lebih nyaman dengan identitas gender dan orientasi seksual masing-masing. Meski demikian, mereka tetap merasakan tekanan dari masyarakat; kali ini  untuk menampilkan maskulinitas lewat karir dan/atau pernikahan yang sukses. Irfan, laki-laki heteroseksual lajang, mengaku beberapa kali mempertimbangkan karir alternative yang lebih lukratif saat mengencani perempuan yang ia pandang lebih sukses; Jaka, laki-laki heteroseksual yang sudah menikah, menceritakan tekanan yang ia rasakan saat masih tinggal bersama mertua, karena mereka menganggap ia dan istrinya belum cukup mapan untuk bisa hidup mandiri; sementara itu, Surya, laki-laki homoseksual lajang, merasakan tekanan besar untuk tidak pernah gagal berkarir sebagai upaya menebus “ketidakmampuannya” memenuhi harapan masyarakat untuk berkeluarga, khususnya di konteks Indonesia. Mengajarkan anak laki-laki supaya kuat agar kemudian dipandang “jantan” sering kali mengorbankan ruang untuk berempati dan mengungkapkan kerentanannya.

Melampaui Maskulinitas Beracun: Mengaburkan Batas-Batas Biner dan Merengkuh Pluralitas

Dalam wawancara kami, toxic masculinity menawarkan titik awal yang bermanfaat untuk membuka pembicaraan, untuk merenungkan reproduksi identitas gender maskulin yang kaku pada berbagai fase kehidupan peserta. Ia mengizinkan peserta mendiskusikan pergumulan mereka, baik di masa lalu maupun sekarang dengan harapan masyarakat yang dibentuk maskulinitas hegemonik. Ia juga membantu mengidentifikasi sifat-sifat maskulin yang merugikan seperti pemendaman emosi, tendensi terhadap kekerasan atau perilaku merusak diri, perlawanan terhadap kerentanan dan empati, serta penindasan terhadap perempuan dan maskulinitas-maskulinitas termarjinalkan.

Akan tetapi, mengenali potensi bahaya toxic masculinity tidak sepenuhnya menjawab pertanyaan awal kami: bagaimana sebaiknya kita membesarkan anak laki-laki?

Rio (pseudonim), manajer di sebuah lembaga riset, merasakan dilema saat ditanya norma-norma gender apa yang akan ia ajarkan kepada anak laki-lakinya. Rio mengenali kebutuhan mengajarkan anak laki-laki untuk menghormati dan berempati dengan perempuan serta mengakui perlakuan istimewa yang dapat ia nikmati dalam kehidupan bermasyarakat berkat gendernya. Namun, ia juga berujar, “Melepaskan priveleges… Agak susah ya. Kan gue tidak ingin anak gue nanti kesulitan. Gimana ya, gue nggak ingin anak gue kalah [bersaing] kalau sudah gede, gue ingin dia berkuasa.” Meski mengenali bahaya toxic masculinity, konstruksi biner antara laki-laki dan perempuan sebagai berlawanan, asumsi bahwa empati dan respek berpotensi melemahkan, dan pandangan bahwa kuasa adalah sumber daya terbatas yang diperebutkan dalam zero-sum game; semua hal ini menghalangi kita memandang lebih luas, melampaui relasi-relasi gender yang telah ada.

Galih (pseudonim), yang mengenali dirinya sebagai laki-laki homoseksual, menghadapi dilema yang berbeda. Galih mengaku selalu curiga dan sulit percaya dengan laki-laki. Menurut dia, ini disebabkan pengalaman menyaksikan langsung contoh-contoh toxic masculinity dari cara ibunya diperlakukan oleh ayahnya, kakak perempuannya diperlakukan buruk oleh pacar laki-laki, dan juga pengalaman Galih sendiri yang mengalami kekerasan seksual di tangan seorang pria. Persepsi negatif terhadap laki-laki membuatnya merasa protektif atas para perempuan dalam hidupnya, dan menyampingkan perasaan-perasaan laki-laki lain. Saat ditanya lebih lanjut, ia mengakui bahwa pengabaiannya terhadap perasaan laki-laki dan luka yang mungkin ia timbulkan pada pasangan laki-lakinya turut mereproduksi toxic masculinity. Dikotomi simplistis bahwa laki-laki adalah pelaku penindasan dan perempuan adalah korbannya, perlu dibongkar demi mengakui bahwa relasi gender, meski memang tidak setara, juga kompleks dan bernuansa.

Sebagaimana ditunjukkan nukilan wawancara bersama Rio dan Galih, mengenali sifat-sifat toxic masculinity tidak sama dengan mengatasinya. Bergerak melampaui toxic masculinity memerlukan pembicaraan terbuka dan pribadi mengenai identitas gender dengan cara yang lebih inklusif dan cair. Ia tak hanya menuntut supaya kita menyelisik ke dalam pengalaman gender masing-masing, tetapi juga mewajibkan kita memandang secara relasional (dalam kaitannya dengan pihak lain) bagaimana ekspresi dan ekspektasi gender kita memengaruhi lingkungan sekitar: dari orang-orang terkasih sampai anggota masyarakat terpinggirkan yang sering kita abaikan.


[1] Kami akan menggunakan cara yang berbeda-beda saat mengutip atau mengacu kepada peserta kami, tergantung pilihan masing-masing peserta. Dari sebelas peserta (empat perempuan dan tujuh laki-laki), enam di antaranya meminta kami menggunakan pseudonim, satu orang memilih disebut dengan inisial, satu orang meminta tidak disebut namanya, dan tiga orang menyetujui penyebutan nama asli mereka.

“Walk Like A Man”: A reflection on toxic masculinity in Indonesia

How do we raise our boys into men? Reflecting on this question, Sadjad and Siregar discuss toxic masculinity in Indonesia. They find that recognizing toxic masculine traits was a valuable entry point to discussions of gender inequality. Unfortunately it is not the same with unlearning them.

Written by Mahardhika S. Sadjad, with research support and editing by Fajri Siregar

Credit: Pixabay/Carlo Quintero

“When I was little, my friends, teachers, and older siblings; when I cried, they would tell me not to be like a girl. Boys shouldn’t cry, mustn’t be weak, we are expected to be stronger than girls.”

(Jaka (pseudonym), from interview excerpt)

When my sister was pregnant with my nephew, we had a long conversation of what it might take to raise a boy. We understood that society requires boys to be strong and active beings, but we wanted him to also be thoughtful, gentle, and sensitive to others and their needs. We did not have this conversation when my niece came into the world six years prior. As women raised in a family of three sisters and no brothers, it just went without saying that teaching girls to be smart, independent, and strong was crucial in a society that often pushes them to be otherwise. If empowering our girls might allow them to meet their full potential, what do we do with our boys? Perhaps the answer lies in questioning dogmatic understandings of masculinity, which is often referred to as ‘toxic masculinity’.

This article is based on informal semi-structured interviews with four Indonesian women and seven Indonesian men. Fajri and I started by reaching out to four Indonesian women who identify as feminists, activists, and/ or researchers who are well-versed in feminist and gender studies. They helped strengthen our understanding of key concepts relevant to thinking about toxic masculinity. We then interviewed seven men, ages 25 to 35, on their personal experiences of ‘becoming men’ in Indonesia, how this was informed by and affected their relationships with women and other men, and their struggles in navigating various life-phases such as puberty and fatherhood.

Among our seven male participants, three identified as heterosexual men, three identified as gay men, and one identified as queer. While the seven participants come from diverse ethnic and religious backgrounds, they all have at least bachelor’s degrees. Most participants live(d) in urban Indonesian cities, mainly Jakarta, and largely have had past or present experiences living abroad. They have various degrees of familiarity with debates on gender and sexuality, although only four of them were familiar with the term ‘toxic masculinity’ prior to our interviews.

Noting that our participants[1] are not representative of wider Indonesian society, we were not attempting to make any generalizable claims regarding toxic masculinity in Indonesia. Instead, this article offers insight into some existing forms of toxic masculinity in the Indonesian context, which we hope can contribute to readers’ reflection and engagement in discussions on gender relations and inequalities.

Patriarchy, Hegemonic Masculinity, and Toxic Masculinity

The term ‘toxic masculinity’ has become increasingly common in conversations about gender, especially in, but not limited to, Western media (e.g. Putri 2015; Salam 2019; Salter 2019). The term is often used to describe how idealized masculine behaviors and beliefs, such as toughness, the suppression of emotions, and a tendency towards violence, have detrimental effects on both men and women. However, toxic masculinity is often misunderstood to be a critique towards masculinity and men in general. Many perceive it to be a generalizing dogma that all of masculinity is toxic, and therefore men are toxic. Let us be clear: This is not what we mean by toxic masculinity.

We must start from the basic premise that masculinity is plural. Masculinity does not refer exclusively to men, although society commonly associates masculine behaviours and values with men. There are more than one way to perform masculinity. However, there are dominant constructs or ideas that inform how society teaches boys to become ‘real men’. These dominant constructs are often referred to as ‘hegemonic masculinity’. Connell (2014: 8) wrote:

Hegemonic masculinity means the pattern of masculinity which is most honoured, which occupies the position of centrality in a structure of gender relations, and whose privileged position helps to stabilize the gender order as a whole, especially the social subordination of women.

Hegemonic masculinity reproduces complex structures of gender relations in a patriarchal system, where women and other marginalised groups that do not adhere to dominant gender constructs are placed at a disadvantage. Therefore, masculinity is also relational, as it is not understood in a vacuum. As one interviewee, a PhD Researcher working on decolonial options, made this clear:

There are different types of masculinities, it is plural. The hegemonic masculinity teaches men to dominate… Men should be strong, alpha males, that need to subject women in their lives, men are rational, they cannot express emotions that are considered weak, like sadness. This deprives them from the opportunity to be complete human beings with a wide range of emotions. This type of hegemonic masculinity is toxic for both men and women, the relations between the two, and relations among men and among women themselves.”

Hegemonic masculinity is not only placed in contrast to femininity, but also to marginalised forms of masculinity that exist in society (Connell, Ibid.). It is important to emphasize that the term toxic masculinity does not suggest the demonization of men and masculine constructs. On the contrary, toxic masculinity is meant to highlight hegemonic masculine behaviors or beliefs that subjugate women and men who fail to live up to what patriarchal societies perceive to be ‘ideal’.

Experiences with Toxic Masculinity in an Indonesian Context

“My family told me to walk like a man. My voice needed to be more forceful.”

(Firman (pseudonym), from interview excerpt)

When asked for their opinions on toxic masculinity all eleven participants used similar words to describe what they felt were common toxic masculine traits, such as “domination”, “strength”, “power”, and “violence”. Most connected these traits with the subjugation and objectification of women, giving examples such as the subordination of women’s roles within the household or the normalization of sexist jokes. As conversations developed and our male participants were asked to reflect on their own experiences growing up, all seven of them recognized their own limitations and struggles in fulfilling society’s expectations of ‘ideal’ traits of masculinity.

Their stories illustrated how these expectations influenced participants’ self-confidence, limited or affected their choices, and, for some, contributed to a sense of exclusion and confusion about their gender identity. When asked when or how they started to perceive themselves as ‘boys’, most participants referred to childhood friendships, toys, and sport activities that were considered ‘appropriate’ for their gender identity. Meanwhile, a few participants recalled their struggles to fit in with peer groups of their own gender. As children, even before realizing their sexual orientation, three participants who identify as gay, experienced bullying by male peers and preferred the safety of friendships with girls.

For example, Firman (pseudonym), who as an adult self-identified as queer, experienced a lot of bullying as a child. His peers would call him a sissy (banci/ bencong) and well-intended family members pressured him to change the way he walked and talked to become more like ‘a man’. It was not until high school, when he made the conscious decision to talk less and exclude himself from his peers, the bullying started to subside. The idea that boys and men need to play with certain toys, walk and talk a certain way at the cost of excluding those that do not fit in, is part of what forms our understanding of a toxic masculinity. It stops us from thinking of masculinity as plural, imposing on boys a narrow idea of how to become ‘men’.

During interviews, as reflections shifted from childhood to their teenage years, most participants associated masculinity with sports, Paskibra (youth organization that mimic military marching traditions during flag hoisting ceremonies), and tawuran (brawls or violent clashes between groups, mostly between different schools). In high school, Irfan identified three groups that were perceived to be what he called the “male among male”: the ‘brigade’ who were the authoritative muscle of the school’s student council, the ‘nature lovers’ (pecinta alam) that climbed mountains and sought adventures, and the ‘bad boys’ (cowok bandel) who challenged authority by skipping school, smoking, and getting into fights. While these three groups represented hegemonic masculinity, their performance of masculinity differed.

Irfan recalled one student who was part of the ‘bad boy’ group, bragging about getting a female student drunk and imposing sex on her while she was unconscious. It was only later, as an adult, that Irfan understood this to be rape. Irfan cannot know for certain that this incident really happened or whether this student was making up a story for bragging rights. However, it was clear in the way the student told his story as triumph, that sexual domination over girls was not only accepted, but also encouraged as a performance of masculinity. Interestingly, despite being considered ‘superior males’, this group of ‘bad boys’ were in turn mocked by a nearby vocational school that sent a bra to them for not getting involved in inter-school fights (tawuran). The domination of women, violence as performance of masculinity and the association of femininity (in this case through a bra as a female undergarment) with weakness are part and partial to toxic masculinity.

While this may seem like an extreme example, toxic masculinity may also appear in other, more nuanced, forms. During an interview, Neqy, founder of komunitas perEMPUan and activist, talked about an experience she had during a protest in Jakarta:

I was there with friends and colleagues who were raising awareness on violence against women; we formed one line consisting mostly of women. One moment, it started to become really crowded and the lines of protesters started to move forward. Suddenly a group of young men, university students, wearing their new varsity jackets, yelled, “Girls, get to the back of the line!” Me and my friends refused.

Neqy’s experience highlights how the masculine expectation to ‘protect’ women, often leads to women’s exclusion. The male students’ assumption that men are inherently more capable to handle potentially dangerous situations, such as during a protest, failed to consider people’s experiences. The division of roles based on gender, rather than merit, could have potentially put less experienced men at risk and undermine women’s abilities to take up active roles in public spaces.

The idea that men must protect women does not only lead to the potential subjugation of women, it can also harm men as they are expected to showcase strength and hide vulnerability. Jaka (pseudonym), for example, talked about past experiences with alcohol and drugs as mechanisms to suppress and cope with vulnerable emotions, such as sadness. Five of the male participants admitted that they rarely discussed issues related to their emotions or feelings with male friends.

As adults, our participants feel more secure in their gender identities and sexual orientations. However, they also discussed the pressure they feel to perform masculinity through successful careers and/ or marriages. Irfan, a single heterosexual man, admitted to contemplating more lucrative career paths when dating women he perceives to be more successful; Jaka, a married heterosexual man discussed the pressure he felt to live with his in-laws because they don’t think he and his wife are earning enough to live independently; while Surya, a homosexual single man, feels pressure to never fail in his career to compensate for the fact that in Indonesia he can never fulfill social expectations of starting a family. Teaching boys to be strong in order to be considered ‘men’, is often done at the cost of allowing space for vulnerability and empathy.

Moving Beyond Toxic Masculinity: Blurring Binary Lines and Embracing Plurality

In our interviews, toxic masculinity offered a useful point to open conversations to reflect on the reproduction of rigid masculine gender identities during different phases of our participants’ lives. It allowed participants to discuss their past and present struggles with societal expectations shaped around hegemonic masculinity. It was also useful to identify masculine traits that are toxic such as the suppression of emotions, tendency towards violent or self-destructive behavior, a resistance against vulnerability and empathy, and the subjugation of women and marginalized masculinities.

However, recognizing the potential harms of toxic masculinity does not fully answer the question we started with: what do we do with our boys?

Rio (pseudonym), a manager at a research institute, felt he was faced with a dilemma when asked what gender norms he planned to teach his young son. While recognizing the need to teach boys to acknowledge the privileges they enjoy in society because of their gender, he also said, “This is difficult. I wouldn’t want my son to lose when he is older. I want him to rule.” Despite recognizing the harms of toxic masculinity, the binary between boys and girls as if opposition to one another, the assumption that empathy and respect are potentially disempowering, and the notion that power is a limited resource that is fought for in a zero sum game, make it difficult to look beyond pre-existing gender relations.

Galih (pseudonym), who identifies as gay, faces a different dilemma. Galih admits to being suspicious and distrustful of men. He believes this is because he has witnessed firsthand various examples of toxic masculinity in the ways his mother was treated by his father, his sister was treated by her boyfriends, and having been assaulted by a man himself. This negative perception against men leads him to feel protective of the women in his life, while being dismissive of the feelings of other men. When prompted, he acknowledged that his neglect towards men’s feelings and the potential hurt he inflicts on male partners also reproduce toxic masculinity. The simplistic dichotomy that men are perpetrators of oppression and women are their victims, needs to be unpacked to acknowledge that gender relations, while indeed unequal, are also complex and nuanced.

As the two interview excerpts with Rio and Galih indicate, recognizing toxic masculine traits is not the same with unlearning them. Moving beyond toxic masculinity requires us to talk openly and personally about gender identities in more inclusive and fluid ways. This does not only demand a need to look inward into our own gendered experiences, it also requires us to look relationally to the ways our gendered expressions and expectations affect those around us: from our loved ones to members of our communities that we have often left neglected on the margins of society.


[1] We will use various ways to refer to our participants, depending on their individual preferences. Among the eleven participants (four women and seven men), six asked that we used pseudonyms, one preferred to be referred to using initials, one wished to not be named, and three consented to the use of their real names.