Makna Kemerdekaan adalah Melawan Penindasan Setiap Hari: Beberapa Refleksi Dekolonial

Wawancara oleh Mahardhika (M) Sjamsoeoed Sadjad

Versi Bahasa Inggris dapat dibaca di sini. Diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Mitrardi Sangkoyo

Foto: Achmad Sulfikar

Saya bertemu Tamara (T) Soukotta, seorang peneliti doktoral di Institut Internasional Ilmu Sosial (International Institute of Social Studies) dan dosen Program Sarjana Studi Internasional di Universitas Leiden. Penelitiannya mencakup pilihan-pilihan yang mengakar pada pengalaman konflik di Maluku (1999–2004), serta pengalaman hidup sebagai pekerja dan perempuan kulit berwarna di Belanda. Menjelang 17 Agustus 2020, kami berdiskusi mengenai makna Hari Kemerdekaan Indonesia melalui lensa dekolonial.

M: Bagaimana Anda menjelaskan dekolonialitas kepada seseorang yang merasa asing dengan istilah tersebut?

T: Saya pikir penting untuk memulai dengan membedakan tiga istilah yang sering dicampuradukkan satu sama lain: dekolonisasi, poskolonial, dan dekolonialitas.

Dekolonisasi adalah proses penjajah-penjajah Eropa meninggalkan daerah jajahan, yang mengakibatkan bangsa-bangsa di wilayah bekas jajahan mendeklarasikan kemerdekaannya dan diakui sebagai negara-negara yang berdaulat. Di Indonesia, proses ini dirayakan pada 17 Agustus 1945, ketika bapak-bapak pendiri bangsa kita secara sepihak mendeklarasikan kemerdekaan Indonesia. Ini disusul perang empat tahun melawan Belanda, yang akhirnya setuju mengalihkan sebagian besar kedaulatan teritorinya di Hindia Timur pada tahun 1949, serta bagiannya di Papua Nugini (sekarang Papua) pada tahun 1963, kepada pemerintah Indonesia.

Teori poskolonial berargumen bahwa setelah dekolonisasi, struktur-struktur kekuasaan kolonial direproduksi oleh kelompok-kelompok elite baru yang menempati posisi kekuasaan setelah pembentukan negara-bangsa baru. Dengan demikian, struktur-struktur kekuasaan kolonial terus langgeng hingga sekarang. Dalam studi pembangunan, logika tersebut sering digunakan untuk memahami ketidakadilan sistematis yang ada di seluruh dunia.

Dekolonialitas membawa logika penindasan ini lebih jauh dalam hubungannya dengan modernitas, lebih spesifik lagi, suatu narasi tunggal tentang menjadi ‘modern’ yang didefinisikan oleh imaji-imaji Barat. Walter Mignolo[1] mengusulkan dekolonialitas sebagai logika yang memutus hubungan dari kolonialitas dengan menempatkan diri sebagai subjek-subjek yang terpisah dari narasi tunggal tersebut. Ini tidak berarti semua cara berpikir atau epistemologi Barat salah dan harus disingkirkan, melainkan harus “dikecilkan ukurannya”. Alih-alih menggunakan pengetahuan Barat sebagai satu-satunya cara untuk mengetahui, dekolonialitas berargumen bahwa ada cara-cara pengetahuan lain yang sama validnya. Dalam hal ini, tradisi-tradisi Barat harus “disesuaikan ukurannya”, yakni setara dengan tradisi lain dan bukan sebagai kebenaran universal.

Bagi saya sebagai peneliti, berurusan dengan opsi  dekolonial dimulai saat saya menyadari bahwa saya adalah subjek kolonial. Saya dididik dan dilatih dalam tradisi Barat. Jadi, agar dapat mencapai opsi dekolonial, saya perlu terlebih dahulu membongkar (unlearn) kepercayaan yang diajari kepada saya tentang “metode saintifik yang benar” serta batasan mengenai apa yang dapat dianggap sebagai pengetahuan. Saya melakukan ini sebagai suatu keharusan, sebagai seseorang yang berasal dari Maluku dan secara personal mengalami satu dekade konflik dari akhir 1990-an hingga awal 2000-an, serta harus menghadapi penjelasan mengenai konflik tersebut yang tidak masuk akal menurut pengalaman saya. Maka, opsi-opsi dekolonial memberikan perangkat metodologis serta ruang ontologis-epistemologis yang saya butuhkan untuk melanjutkan penelitian saya.

M: Apa makna 17 Agustus bagi Anda, berdasarkan perspektif-perspektif dekolonial?

T: Dekolonialitas harusnya dimulai dari mempertanyakan kemerdekaan dan makna sesungguhnya. Saat saya menulis draf seminar disertasi, penguji eksternal saya, Robbie Shilliam[2], mengatakan saat merespons presentasi saya: “Kemerdekaan adalah kemenangan kolonialisme”. Saya membutuhkan sedikit waktu untuk merenungi pernyataannya. Saya kira ada dua cara untuk memahaminya.

Pertama, pembentukan negara-bangsa merupakan produk kolonial. Keseluruhan struktur negara-bangsa berasal dari Barat. Maka, kendati penjajah Barat sudah pergi melalui proses-proses dekolonisasi, ide-ide yang mengabsahkan berbagai bentuk penindasan terus berlanjut. Logika kolonialitas, melalui relasi-relasi kekuasaan, struktur-struktur pengetahuan, gender, dan lain-lain, merupakan variasi bentuk dari kolonialisme, yang tidak ikut pergi bersama para penjajah saat mereka meninggalkan wilayah jajahan secara fisik. Bentuk-bentuk ini menubuh dalam struktur-struktur pemerintahan yang diambil alih oleh kelompok-kelompok elite yang membentuk negara-bangsa.

Contohnya, bapak-bapak pendiri bangsa yang menjadi bagian dari Kongres Pemuda pada tahun 1928, mereka (hampir) semuanya adalah laki-laki dan perempuan yang dididik oleh Belanda. Betul, mereka semua menentang kekuasaan kolonial, tetapi ide mereka tentang kemerdekaan terbatas pada mengusir penjajah Belanda, dan tidak pada keharusan untuk menyingkirkan ide-ide kolonialitas dan logika-logika penindasan yang ada. Penyatuan Indonesia di bawah tanah air, bangsa, dan bahasa yang tunggal memang menanam bibit perlawanan terhadap penjajah Belanda, tetapi secara bersamaan juga menghapuskan berbagai pengalaman penjajahan yang majemuk di seluruh kepulauan dalam narasi bernegara.

Kedua, kemerdekaan negara-bangsa yang baru terletak di dalam diskursus kolonial. Dekolonisasi memberi penjajah Barat suatu tonggak sejarah agar mereka dapat mencuci tangan dari konsekuensi-konsekuensi jangka panjang imperialisme, dan mengalihkan tanggung jawab tersebut kepada negara-bangsa yang baru saja merdeka. Maka, apabila pemerintah Indonesia bersalah melakukan tindakan-tindakan penindasan dan kekerasan pascakemerdekaan, yang menjadi orang-orang ‘jahat’ adalah orang Indonesia, dan bukan para penjajah. Mereka [mantan penjajah] dapat mengatakan, “Ini masalah‘mu’, bukan masalah ‘kita’”. Para penjajah tidak bertanggung jawab atas segala sesuatu yang terjadi pascakemerdekaan, walaupun sebagian besar dari konflik-konflik tersebut berakar dari proses-proses menyejarah yang dimulai jauh sebelumnya dan sentimen-sentimen yang dipanen dari antara kelompok-kelompok berbeda melalui strategi adu domba (divide and conquer). Maka logika kolonial dan penindasan terus langgeng, tapi kali ini “Anda” lah yang biang keroknya.

M: Apa saja contoh pengalaman lain yang kita butuh akui sebagai bagian penting dari kemerdekaan dan pembentukan bangsa kita?

T: Kita perlu ingat bahwa kita memiliki pengalaman-pengalaman penjajahan yang berbeda di berbagai wilayah Indonesia. Beberapa bagian Indonesia mungkin hanya dijajah oleh otoritas Belanda selama sekitar lima puluh tahun. Maluku, sebaliknya, mengalami salah satu masa penjajahan terlama di Indonesia. Ide mengenai “kepulauan rempah” yang memulai keseluruhan misi Columbus untuk menemukan Amerika merujuk kepada Moluccas atau Kepulauan Maluku. Sejak abad ke-16, kepulauan rempah ini didatangi berbagai bangsa Eropa, mulai dari penjajah Spanyol, Portugis, Inggris, hingga Belanda.

Di masa penjajahan, khususnya saat politik adu domba, salah satu cara memastikan kepatuhan Maluku adalah melalui perpindahan agama. Bagi orang Belanda, mereka yang pindah agama dianggap tangan kanan lokal. Dengan demikian, orang Kristen memiliki posisi istimewa di dalam sistem kolonial Belanda. Orang Belanda menggunakan prajurit Maluku untuk menaklukkan wilayah-wilayah Indonesia lain, sehingga orang Maluku dicap sebagai “Belanda hitam” atau lebih buruk lagi, “anjing-anjing Belanda”. Hal ini menciptakan stereotip yang berakar pada rasisme. Stereotip rasis bahwa orang hitam yang berambut ikal dan berasal dari Timur merupakan manusia tidak beradab dilanggengkan melalui anggapan bahwa orang Maluku adalah simpatisan dan pendukung Belanda. Dengan demikian, terdapat bentuk diskriminasi ganda pascakemerdekaan. Kemudian, pada tahun 1950-an saat terjadi upaya pembentukan Republik Maluku Selatan, stigma-stigma tersebut bertambah kuat.

Sebagai minoritas, seseorang yang berasal dari Indonesian bagian Timur, dan Kristen pula—semua stereotip tersebut membuat semacam kerangkeng. Anda hampir selalu dikriminalisasi, eksistensimu didefinisikan lebih dulu oleh kerangkeng itu. Saya ingat ketika keluar dari Maluku, di mana pendidikan dan latar belakang sosial-ekonomi yang saya punya memberikan beberapa privelese, ke Jakarta, di mana privelese-privelese itu hilang, dan saya harus menghadapi berbagai ide yang tertanam dalam benak orang di Jawa, atas kami yang datang dari Timur.

Narasi tentang kemerdekaan Indonesia tidak boleh terus meminggirkan pengalaman-pengalaman berbeda lainnya. Ketika Anda bicara tentang Maluku, Anda bicara tentang sekelompok orang yang hidup melalui pengalaman penjajahan traumatis selama ratusan tahun. Di bawah penjajahan Belanda, satu-satunya cara bertahan hidup setelah seluruh tanah dan aset Anda dibakar adalah dengan bekerja sebagai prajurit Belanda. Kemudian, setelah kemerdekaan, di bawah sistem Indonesia, terutama setelah RMS dihancurkan, kemudian sebagai minoritas, satu-satunya pilihan bertahan adalah menjadi pendukung NKRI yang setia, karena begitu Anda mengkritisinya, saat itulah Anda berisiko dihancurkan kembali.

Saat Anda, sebagai sekelompok orang, dipandang sebagai pengkhianat, Anda memiliki beban untuk terus-terusan membuktikan dan menampilkan kesetiaan. Contohnya, apabila Anda lihat gerakan-gerakan sosial di Maluku, sangat sulit melakukan protes akibat trauma-trauma ini, ratusan tahun penjajahan ini. Dengan memahami sejarah dan konteks tersebut, Anda dapat mengerti mengapa orang Maluku sangat patriotis dalam merayakan 17 Agustus. Maka, kemerdekaan Indonesia merupakan cerita kompleks tentang kemenangan dan kekalahan. Ia butuh dipahami dan dirayakan seperti itu.

M: Ada beberapa pengkritik yang mungkin saja mengatakan bahwa dekolonialitas menantang NKRI. Bagaimana tanggapan Anda mengenai hal tersebut?

T: Opsi-opsi dekolonial sangat penting bagi narasi tunggal apapun, termasuk narasi tunggal tentang ide negara-bangsa. Dalam hal ini, kita dapat katakan bahwa dekolonialitas kritis terhadap NKRI karena NKRI didasari atas gagasan “negara kesatuan”, yang merayakan persatuan dalam keragaman. Tampak sebagai ide yang optimis: kendati kita berbeda, kita satu. Kenyataannya, keragaman ditolerir selama Anda meletakkannya di dalam kerangka tunggal NKRI. Anda tidak dapat berada di luar kerangka bersama ini, karena jika Anda melakukannya atau bahkan menyarankannya, Anda akan dicap sebagai pengkhianat dan dipaksa mengucapkan “NKRI harga mati”—NKRI, atau mati. Dalam hal ini, NKRI menguatkan keseragaman.

Opsi-opsi dekolonial menyerukan sebaliknya: mengakui perspektif-perspektif yang berbeda dan menyediakan opsi untuk delinking (memutus) hubungan dari kerangka tunggal tersebut. Setelah kemerdekaan, proyek nasional untuk menguatkan NKRI telah membutakan kita dalam melihat berbagai bentuk dan struktur pemerintahan yang ada di seluruh kepulauan. Harusnya, apabila kita benar-benar independen—menjadi merdeka—kita dapat memiliki pilihan tentang apa yang ingin kita lakukan selagi kita melangkah maju. Alih-alih demikian, kita justru menduplikasi pendekatan-pendekatan yang digunakan penjajah dalam membentuk negara-bangsa mereka, sistem-sistem parlementer dan hukum—sehingga melanggengkan gagasan bahwa hanya ada satu cara memerintah, satu cara menuju peradaban, satu cara menuju modernisasi.

Sebagai contoh, narasi yang paling sering digunakan untuk membenarkan penindasan di Papua Barat adalah bahwa kita harus menyelamatkan mereka dari penghancuran diri mereka sendiri.[3] Ini adalah alasan yang juga digunakan Belanda ketika menjajah Indonesia. Kita menganggap bahwa mereka tidak mampu mengatur dirinya sendiri, sehingga kita merasa berhak ikut campur dan membantu mereka dalam mengatur dirinya dan dalam mengadabkan dirinya. Itu karena kita melihat bahwa kita, entah bagaimana, lebih baik dari mereka. Setelah kemerdekaan, terdapat transformasi untuk men-Jawa-kan seluruh bangsa. Contohnya melalui penerapan “pemerintahan desa” di mana-mana. Kita di Maluku tidak pernah memiliki struktur desa. Yang kita milki adalah negeri independen dengan rajanya masing-masing. Dalam pembentukan negara-bangsa, Anda menerapkan struktur seragam dari Sabang sampai Merauke. Semuanya harus mengikuti struktur desa, kecamatan, kabupaten, dan sebagainya—tidak ada satu pun dari hal-hal tersebut yang asli Maluku.

Membeberkan eksklusi soal cara hidup yang berbeda seringkali justru menimbulkan kontroversi yang penuh emosi. Orang menganggap bahwa dengan demikian kita mendukung pemecahbelahan NKRI. Perdebatan mengenai gerakan-gerakan kemerdekaan di dalam Indonesia itu penting, tetapi kita perlu ingat bahwa dekolonisasi—dalam hal ini penjajah yang meninggalkan daerah jajahannya—dengan sendirinya tidak pernah membalik struktur-struktur penindasan kolonial. Kita perlu membayangkan respons yang lebih beragam dan plural terhadap percakapan-percakapan yang sulit semacam ini. Tidak ada jawaban tunggal. Barangkali jawabannya terletak di luar NKRI, tapi mungkin juga di dalam. Hal tersebut bergantung pada suara siapa yang didengar dan dipercaya dalam Republik ini. Selain itu, dekolonialitas adalah soal mengamplifikasi suara-suara yang selama ini paling tidak dihiraukan, disepelekan, bahkan ditindas, hanya karena mereka tidak bisa terkatup rapi di dalam bingkai yang tunggal.

Saya tidak mengusulkan agar kita membalik sejarah. Menurut saya, kita perlu mengakui bahwa NKRI tidak harus menjadi satu-satunya cara hidup. Dan mungkin, dengan mengakui hal tersebut, kita dapat menemukan cara-cara lain untuk hidup dan hidup bersama yang sama validnya. Ini bukan satu-satunya cara, maupun cara terbaik untuk hidup. Indonesia merupakan negara-bangsa yang dibentuk dari penyatuan. Ia tidak ada sebelum penjajahan. Maka, semua wilayah lebih kecil yang ada sebelum penjajahan, mengapa kita bahkan melarang mereka atas opsi untuk membayangkan diri mereka sendiri seperti sediakala, atau bahkan melampauinya? Kini hampir mustahil untuk bahkan membayangkan bahwa eksistensi semacam itu, ataupun bentuk eksistensi lain, dapat terwujud.

M: Jadi, bagaimana harusnya kita merayakan pengorbanan dan perjuangan yang “bapak-bapak pendiri bangsa” curahkan ke dalam kemerdekaan kita?

T: Saya tidak menyangkal bahwa kemerdekaan merupakan kemenangan yang diraih secara berdarah-darah bagi Indonesia. Ketika Anda ditaklukkan, Anda ingin membebaskan diri. Ketika kita berada di bawah jajahan kolonial, membebaskan diri sendiri sama dengan mengusir Belanda, karena Anda ingin mengusir orang-orang yang menindasmu. Yang saya tekankan adalah: pentingnya apa yang terjadi setelah kemerdekaan.

Dengan merayakan ‘Hari Kemerdekaan’, kita tidak boleh melihatnya sebagai ‘akhir’—seakan-akan 17 Agustus memberi akhir dari penjajahan dan segala sesuatunya seketika menjadi tuntas, menjadi baik. Berjuang demi kemerdekaan berarti berjuang deminya setiap hari. Perlu dicatat bahwa, dari perspektif dekolonial, ini tidak sama dengan seruan Orde Baru untuk mengisi kemerdekaan dengan ‘pembangunan’. Seruan pembangunan yang bersifat dari-atas-ke-bawah didasari atas gagasan tunggal tentang pembangunan sebagai modernisasi dan industrialisasi. Sebaliknya, berjuang demi kemerdekaan dari perspektif dekolonial harus menjadi proses yang nonpreskriptif, majemuk, dan menapak secara lokal. Amatilah masyarakat kita setiap hari, dan temukan bentuk-bentuk penindasan yang masih langgeng, belajar memahami akar-akarnya, dan kemudian lihat apa saja yang mampu kita lakukan untuk membalik logika yang melanggengkan marginalisasi dan penaklukan terhadap berbagai kelompok yang berbeda.

Setelah kita berhasil mengusir Belanda, sebenarnya kita hanya terus-terusan menjajah diri kita sendiri lewat cara-cara yang berbeda. Konstitusi kita mendeklarasikan bahwa “penjajahan di atas dunia harus dihapuskan”, tetapi para elite merebut kekuasaan dan mereproduksi penjajahan. Kita tidak mempertanyakan apa pun dan kita terima saja bentuk pemerintahan yang baru ini. ‘Bapak-bapak pendiri bangsa’ kita berjuang dan gugur demi kemerdekaan, tetapi kita perlu ingat bahwa ini adalah perjuangan yang masih terjadi setiap hari. Berjuang demi kemerdekaan tidak terbatas pada perjuangan orang-orang dan provinsi yang menuntutnya. Lihat juga kelompok-kelompok termarjinalkan lain di masyarakat: buruh, masyarakat adat, perempuan—bentuk penindasan apa pun yang kita saksiksan sehari-hari. Kita perlu merayakan mereka yang sudah mengorbankan diri mereka dengan mengingat bahwa makna kemerdekaan harusnya lebih besar daripada sekadar mengusir Belanda. Orang masih berjuang dan bahkan berguguran setiap hari demi bentuk-bentuk kemerdekan dan otonomi lainnya.


[1] Walter Mignolo adalah profesor di Universitas Duke. Untuk membaca lebih lanjut karyanya mengenai dekolonialitas, lihat is a professor at Duke University. To read more on his work on decoloniality, see Walter D. Mignolo (2007) DELINKING, Cultural Studies, 21:2-3, 449-514 and dan Walter D Mignolo (2011) Geopolitics of sensing and knowing: on (de)coloniality, border thinking and epistemic disobedience, Postcolonial Studies, 14:3, 273-283

[2]   Robbie Shilliam adalah profesor di Universitas John Hopkins, yang risetnya mencakup keterlibatan politik dan intelektual dari kolonialisme dan ras dalam tatanan global

[3]   Lihat Soukotta (2019), artikel berjudul “An Uprising in West Papua” https://www.jacobinmag.com/2019/09/protests-west-papua-indonesia-surabaya-attack

Independence means fighting oppression every day: Some decolonial reflections

Interview by Mahardhika (M) Sjamsoeoed Sadjad

for Bahasa Indonesia version, read here.

Photograph: Achmad Sulfikar

I sat down with Tamara (T) Soukotta, a PhD researcher at the International Institute of Social Studies and lecturer at Bachelor International Studies Program, Leiden University. Her research centers around decolonial options/ thinking/ doing that is grounded in experiences of conflict in Maluku (1999-2004), as well as experiences of living and working in The Netherlands as a woman of color. As we approached 17 August 2020, we discussed what Indonesia’s Independence Day means when seen through a decolonial lens.

M: How would you explain decoloniality to someone who isn’t very familiar with the term?

T: I think it is important to start from differentiating three terms that are often conflated with one another: decolonization, post-colonialism, and decoloniality.

Decolonization is the process of European colonisers leaving the colonies, that resulted in former colonized nations declaring their independence and becoming recognized as sovereign states. In Indonesia, this process is commemorated on 17 August 1945, when our founding fathers unilaterally declared Indonesia’s independence. This was followed by a four-year war against the Dutch, which finally agreed to transfer the sovereignty of most of its territory in the East Indies in 1949 and its part of New Guinea (now Papua) in 1963 to the Indonesian government.

Post-colonial theory argues that after decolonization, colonial structures of power were reproduced by new elite groups that took up positions of power after the formation of new nation-states. As such, colonial structures of power continue to exist until now. In development studies, this logic is often used to understand existing systematic inequalities around the world.

Decoloniality brings this logic of oppression further in connection to modernity, specifically a singular narrative of being ‘modern’ that is defined by Western ideals. Walter Mignolo[1] proposes decoloniality as a logic that delinks from coloniality by putting ourselves as separate subjects from this singular narrative. This is not necessarily to say that all Western ways of thinking or epistemologies are wrong and should be dismissed, but it should be “reduced to size”. Rather than taking Western knowledge as the way of knowing, decoloniality argues there are other ways of knowing that are equally valid. In this sense, Western traditions should be “put to size”, as equal to others and not a universal truth.

For me as a researcher, engaging with decolonial options/ thinking/ doing, starts from recognizing that I am a colonial subject. I was educated and trained in a Western tradition. So, for me to arrive at decolonial options, I had to first unlearn what I was taught to believe was “proper scientific methods” and the limitations of what can be considered knowledge. I did it out of necessity as someone originating from Maluku, personally experiencing a decade of conflict from the late 90s to the early 2000s, and having to face explanations of the conflict that didn’t make sense according to my experiences. So decolonial options gave the methodological tools and ontological-epistemological spaces I needed to pursue my research.

M: What does the 17th of August mean to you, looking from decolonial perspectives?

T: Decoloniality would start from questioning independence and what it actually means. When I did my dissertation draft seminar, my external examiner, Robbie Shilliam[2], said in response to my presentation: “Independence is a triumph of colonialism”. It took me some time to reflect on this statement. I think there are two ways to see this.

First, the formation of nation-state is a colonial product. The whole structure of nation-states originated in The West. So even though Western colonizers left through processes of decolonization, the ideas that validated various forms of oppressions continue to exist. The logic of coloniality, through relations of power, structures of knowledge, gender, etc. – these are different types of colonialism that did not leave when the colonizers physically left. They are embedded in the structures of governance that were taken over by the elite groups that form the nation-state.

Our founding fathers, for example, those who were part of Kongres Pemuda (Youth Congress) in 1928, they were all young (mostly) men and women educated by the Dutch. Yes, they were all resisting colonial power, but their idea of independence was limited to getting rid of Dutch colonizers and not necessarily to get rid of ideas of coloniality and existing logics of oppressions. The uniting of Indonesia under a singular motherland, nation, and language planted the seed to fight the Dutch colonizers but simultaneously erased from the state’s narrative the different experiences of colonization that existed across the archipelago. 

Second, the independence of new nation-states exists within colonial discourse. Decolonization provided western colonizers with the historical milestone to wash their hands off from long term consequences of imperialism, shifting the responsibility to the newly independent nation-states. So, if the Indonesian government is guilty of committing acts of oppression and violence after independence, the ‘bad’ people are the Indonesian people not the colonizers. They [former colonizers] are able to say, “It’s ‘your’ problem, not ‘our’ problem”. The colonizers are not responsible for whatever happens after independence even though most of these conflicts are rooted in historical processes that started long ago, sentiments that were cultivated between these different groups through strategies of divide and conquer.  So colonial logic and oppression continues, but this time it’s on “you”.

M: What are examples of other experiences that we need to acknowledge as part and parcel to the independence and formation of our nation?

T: We need to remember that we have different experiences of colonization in different parts of Indonesia. Some parts of Indonesia might have only been colonized under Dutch authority for about fifty years. Maluku, however, experienced one of the longest histories of colonization in Indonesia. The idea of “spice islands” that started the whole mission of Columbus discovering America were the Moluccas or the Maluku Islands. From the 16th century, these spice islands attracted different European nations, from the Spaniards, the Portuguese, to the British and Dutch colonizers. So, Maluku has experienced four hundred years of imperialism and, some might argue, continues to experience it.

Under colonization and strategies of divide and conquer, one of the ways to ensure obedience of Maluku was through religious conversion. For the Dutch, people who are converted became the most trustworthy among the locals. As such, Christians had a privileged position within the Dutch colonial system. The Dutch used Moluccan soldiers to conquer other parts of Indonesia, which led Malukans to be stigmatized as “black Dutchmen” or even worse, “Dutch watch dogs”. This created a stereotype that is rooted in racism. The racist stereotype of being black, with curly hair, from the East means you are backward and less was perpetuated by the fact that Malukans were seen as Dutch sympathizers and supporters. So, there is a double form of discrimination after independence. Then in the 1950s with the rebellion of trying to form the Republic of Southern Maluku, these stigmas became even stronger.

As a minority, coming from the Eastern part of Indonesia, as Christian as well – all of these stereotypes create a kind of cage. You are almost criminalized in a way, your existence pre-defined by this box. I remember my own experience of moving out from Maluku, where my education and socio-economic background allowed me some privileges, to Jakarta where all these privileges were lost and I had to face the different preconceived ideas people in Java often have of us coming from the East.

The narrative of Indonesian independence cannot continue to exclude these other experiences. When you talk about Maluku, you are talking of a people who have lived through the traumatic experience of oppression for hundreds of years. Under the Dutch the only way to survive after your whole land and all your assets were burned was to work as a Dutch soldier. Then after independence, under the Indonesian system, especially after RMS was crushed, then as a minority the only option to survive is to become very supportive to the NKRI because the moment you become critical of it you are at risk of being crushed again.

When you, as a group of people, is seen as a traitor, you have the burden to constantly prove and perform loyalty. For example, if you look at social movements in Maluku, it is very difficult to hold a protest because of all this trauma, these hundreds of years of oppression. Understanding this history and context, you will understand why Maluku people are very patriotic in celebrating the 17th of August. So, Indonesia’s independence a complex story of both victory and losses. It needs to be understood and commemorated as such.

M: There are critics who might say that a decoloniality challenges the NKRI (the Unitary State of the Republic of Indonesia). How would you respond to that?

T: Decolonial options is critical to any single narrative, including a single narrative on the idea of nation-state. In this sense, we can say that decoloniality is critical of NKRI because it is based on the notion of “negara kesatuan” (unitary state) that celebrates unity in diversity. It seems like an optimistic idea: although we are different, we are one. The reality is that diversity is only tolerated so long as you are putting yourself within one singular frame of NKRI. You cannot exist outside of this common frame, because if you do or even suggest it you will be seen as a traitor, forced to face the phrase “NKRI harga mati” – in other words NKRI or death. In that sense NKRI enforces uniformity.

Decolonial options calls for the opposite: to acknowledge different perspectives and allow the option to delink from this singular frame. After independence, the national project of solidifying NKRI stopped us from seeing different forms and structures of governance that existed across the archipelago. Supposedly, being truly independent – being free – we should have had options in front of us on what we wanted to do as we move forward. Instead, we just duplicated the same approaches that the colonizers used in forming their nation-states, their parliamentary and legal systems – thus continuing this idea that there is only one way of governing, one way to civilization, one way to modernization.

For example, the narrative often used to justify oppression in West Papua, is that we have to save them from destroying themselves[3]. This was the same rationale the Dutch used to colonize us. We don’t think they are capable of self-governance and therefore we have to jump in to help them govern themselves, to help them civilize themselves. Because we see ourselves as somehow better than them. After independence, there was transformation to Javanize the whole nation. For example, through the establishment of ‘pemerintahan desa’ (village governance) everywhere. We never had the structures of desa (village) in Maluku. Instead we had independent negeri (independent states) with their own raja (kings). In the formation of the nation-state, you establish a uniformed structure from Sabang to Merauke. Everything follows the structure of desa (village), kecamatan (sub-district), kabupaten (regency), all these things – none of which are indigenous to Maluku.

Pointing out the exclusion of these “ways of being” often trigger emotional controversy. People presume that to do so means we support breaking up the NKRI. Debates about independence movements within Indonesia is important, but we need to remember that decolonization—referring to the colonizers leaving the colonies—on its own never undid the oppressive structures of colonialism. We need to imagine a more nuanced, plural response to these very difficult conversations. There isn’t one answer that will fit all. Perhaps the answers lie outside of NKRI, but also equally possible that the answers lie within it. This depends on whose voices get heard and given credence within the Republic. Decoloniality in a way is also about amplifying the voices that are most often ignored, dismissed, oppressed even, just because they do not fit neatly into a singular frame.

I am not suggesting to somehow undo history. I am arguing for the need to recognize that NKRI doesn’t have to be the only way to exist. And maybe by recognizing this, we can find different ways to exist and co-exist that are just as valid. This is not the only way nor the best way to exist. Indonesia is a nation-state formed out of unification. It didn’t exist before colonization. So, all these different smaller states that had existed prior to colonization, why can’t we even allow them the options to imagine themselves as they once were, or even beyond? Nowadays it’s near impossible to even think that that or other kind of existence is possible.

M: So how should we commemorate the sacrifices and struggles that our “founding fathers” put into our independence?

T: I’m not negating the fact that independence was a hard-fought victory for Indonesia. When you are conquered, you want to free yourself. When we were under colonial rule, freeing yourself means getting rid of the Dutch because you want to get rid of people who oppress you. What I want to emphasize is: what happens after independence matters.

In commemorating ‘Independence Day’, we mustn’t see it as ‘the end’- as if the 17th of August brought the end of colonization and all was done, all was well. Fighting for independence means fighting for it every day. It should be noted that, from a decolonial perspective, this does is not the same as the New Order’s call to fill independence with ‘development’. The top-down call for development is based on a singular idea of development as modernization and industrialization. Instead, fighting for independence from a decolonial perspective needs to be a non-prescriptive, plural, locally grounded process. Observe our society every day and see what forms of oppression still exists, learn to understand their roots, see what we can do to undo the logic that perpetuates the marginalization and subjugation of different groups.

After we got rid of the Dutch, we just continued to colonize ourselves in different ways. Our constitution declares that “penjajahan di atas dunia harus dihapuskan(occupation should thus be erased from the earth), butthe elite took power and reproduced it. We didn’t question anything and we accepted this new form of governance. Our ‘founding fathers’ fought and died for independence, but we should remember that this is a struggle that still happens every day. Fighting for independence is not limited to the struggles to peoples and provinces who demand it. Look also at other marginalized groups in our society: labor, indigenous people, women – any kind of oppression we see on a daily basis. We should commemorate those who have sacrificed by remembering that independence should mean something bigger than just getting rid of the Dutch. People are still fighting and even dying for other forms of independence and autonomy every day.   


[1] Walter Mignolo is a professor at Duke University. To read more on his work on decoloniality, see Walter D. Mignolo (2007) DELINKING, Cultural Studies, 21:2-3, 449-514 and Walter D Mignolo (2011) Geopolitics of sensing and knowing: on (de)coloniality, border thinking and epistemic disobedience, Postcolonial Studies, 14:3, 273-283

[2] Robbie Shilliam is a professor at John Hopkins University, whose research focuses on political and intellectual complicities of colonialism and race in the global order

[3] See Soukotta (2019) article entitled “An Uprising in West Papua” https://www.jacobinmag.com/2019/09/protests-west-papua-indonesia-surabaya-attack