Makna Kemerdekaan adalah Melawan Penindasan Setiap Hari: Beberapa Refleksi Dekolonial

Wawancara oleh Mahardhika (M) Sjamsoeoed Sadjad

Versi Bahasa Inggris dapat dibaca di sini. Diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Mitrardi Sangkoyo

Foto: Achmad Sulfikar

Saya bertemu Tamara (T) Soukotta, seorang peneliti doktoral di Institut Internasional Ilmu Sosial (International Institute of Social Studies) dan dosen Program Sarjana Studi Internasional di Universitas Leiden. Penelitiannya mencakup pilihan-pilihan yang mengakar pada pengalaman konflik di Maluku (1999–2004), serta pengalaman hidup sebagai pekerja dan perempuan kulit berwarna di Belanda. Menjelang 17 Agustus 2020, kami berdiskusi mengenai makna Hari Kemerdekaan Indonesia melalui lensa dekolonial.

M: Bagaimana Anda menjelaskan dekolonialitas kepada seseorang yang merasa asing dengan istilah tersebut?

T: Saya pikir penting untuk memulai dengan membedakan tiga istilah yang sering dicampuradukkan satu sama lain: dekolonisasi, poskolonial, dan dekolonialitas.

Dekolonisasi adalah proses penjajah-penjajah Eropa meninggalkan daerah jajahan, yang mengakibatkan bangsa-bangsa di wilayah bekas jajahan mendeklarasikan kemerdekaannya dan diakui sebagai negara-negara yang berdaulat. Di Indonesia, proses ini dirayakan pada 17 Agustus 1945, ketika bapak-bapak pendiri bangsa kita secara sepihak mendeklarasikan kemerdekaan Indonesia. Ini disusul perang empat tahun melawan Belanda, yang akhirnya setuju mengalihkan sebagian besar kedaulatan teritorinya di Hindia Timur pada tahun 1949, serta bagiannya di Papua Nugini (sekarang Papua) pada tahun 1963, kepada pemerintah Indonesia.

Teori poskolonial berargumen bahwa setelah dekolonisasi, struktur-struktur kekuasaan kolonial direproduksi oleh kelompok-kelompok elite baru yang menempati posisi kekuasaan setelah pembentukan negara-bangsa baru. Dengan demikian, struktur-struktur kekuasaan kolonial terus langgeng hingga sekarang. Dalam studi pembangunan, logika tersebut sering digunakan untuk memahami ketidakadilan sistematis yang ada di seluruh dunia.

Dekolonialitas membawa logika penindasan ini lebih jauh dalam hubungannya dengan modernitas, lebih spesifik lagi, suatu narasi tunggal tentang menjadi ‘modern’ yang didefinisikan oleh imaji-imaji Barat. Walter Mignolo[1] mengusulkan dekolonialitas sebagai logika yang memutus hubungan dari kolonialitas dengan menempatkan diri sebagai subjek-subjek yang terpisah dari narasi tunggal tersebut. Ini tidak berarti semua cara berpikir atau epistemologi Barat salah dan harus disingkirkan, melainkan harus “dikecilkan ukurannya”. Alih-alih menggunakan pengetahuan Barat sebagai satu-satunya cara untuk mengetahui, dekolonialitas berargumen bahwa ada cara-cara pengetahuan lain yang sama validnya. Dalam hal ini, tradisi-tradisi Barat harus “disesuaikan ukurannya”, yakni setara dengan tradisi lain dan bukan sebagai kebenaran universal.

Bagi saya sebagai peneliti, berurusan dengan opsi  dekolonial dimulai saat saya menyadari bahwa saya adalah subjek kolonial. Saya dididik dan dilatih dalam tradisi Barat. Jadi, agar dapat mencapai opsi dekolonial, saya perlu terlebih dahulu membongkar (unlearn) kepercayaan yang diajari kepada saya tentang “metode saintifik yang benar” serta batasan mengenai apa yang dapat dianggap sebagai pengetahuan. Saya melakukan ini sebagai suatu keharusan, sebagai seseorang yang berasal dari Maluku dan secara personal mengalami satu dekade konflik dari akhir 1990-an hingga awal 2000-an, serta harus menghadapi penjelasan mengenai konflik tersebut yang tidak masuk akal menurut pengalaman saya. Maka, opsi-opsi dekolonial memberikan perangkat metodologis serta ruang ontologis-epistemologis yang saya butuhkan untuk melanjutkan penelitian saya.

M: Apa makna 17 Agustus bagi Anda, berdasarkan perspektif-perspektif dekolonial?

T: Dekolonialitas harusnya dimulai dari mempertanyakan kemerdekaan dan makna sesungguhnya. Saat saya menulis draf seminar disertasi, penguji eksternal saya, Robbie Shilliam[2], mengatakan saat merespons presentasi saya: “Kemerdekaan adalah kemenangan kolonialisme”. Saya membutuhkan sedikit waktu untuk merenungi pernyataannya. Saya kira ada dua cara untuk memahaminya.

Pertama, pembentukan negara-bangsa merupakan produk kolonial. Keseluruhan struktur negara-bangsa berasal dari Barat. Maka, kendati penjajah Barat sudah pergi melalui proses-proses dekolonisasi, ide-ide yang mengabsahkan berbagai bentuk penindasan terus berlanjut. Logika kolonialitas, melalui relasi-relasi kekuasaan, struktur-struktur pengetahuan, gender, dan lain-lain, merupakan variasi bentuk dari kolonialisme, yang tidak ikut pergi bersama para penjajah saat mereka meninggalkan wilayah jajahan secara fisik. Bentuk-bentuk ini menubuh dalam struktur-struktur pemerintahan yang diambil alih oleh kelompok-kelompok elite yang membentuk negara-bangsa.

Contohnya, bapak-bapak pendiri bangsa yang menjadi bagian dari Kongres Pemuda pada tahun 1928, mereka (hampir) semuanya adalah laki-laki dan perempuan yang dididik oleh Belanda. Betul, mereka semua menentang kekuasaan kolonial, tetapi ide mereka tentang kemerdekaan terbatas pada mengusir penjajah Belanda, dan tidak pada keharusan untuk menyingkirkan ide-ide kolonialitas dan logika-logika penindasan yang ada. Penyatuan Indonesia di bawah tanah air, bangsa, dan bahasa yang tunggal memang menanam bibit perlawanan terhadap penjajah Belanda, tetapi secara bersamaan juga menghapuskan berbagai pengalaman penjajahan yang majemuk di seluruh kepulauan dalam narasi bernegara.

Kedua, kemerdekaan negara-bangsa yang baru terletak di dalam diskursus kolonial. Dekolonisasi memberi penjajah Barat suatu tonggak sejarah agar mereka dapat mencuci tangan dari konsekuensi-konsekuensi jangka panjang imperialisme, dan mengalihkan tanggung jawab tersebut kepada negara-bangsa yang baru saja merdeka. Maka, apabila pemerintah Indonesia bersalah melakukan tindakan-tindakan penindasan dan kekerasan pascakemerdekaan, yang menjadi orang-orang ‘jahat’ adalah orang Indonesia, dan bukan para penjajah. Mereka [mantan penjajah] dapat mengatakan, “Ini masalah‘mu’, bukan masalah ‘kita’”. Para penjajah tidak bertanggung jawab atas segala sesuatu yang terjadi pascakemerdekaan, walaupun sebagian besar dari konflik-konflik tersebut berakar dari proses-proses menyejarah yang dimulai jauh sebelumnya dan sentimen-sentimen yang dipanen dari antara kelompok-kelompok berbeda melalui strategi adu domba (divide and conquer). Maka logika kolonial dan penindasan terus langgeng, tapi kali ini “Anda” lah yang biang keroknya.

M: Apa saja contoh pengalaman lain yang kita butuh akui sebagai bagian penting dari kemerdekaan dan pembentukan bangsa kita?

T: Kita perlu ingat bahwa kita memiliki pengalaman-pengalaman penjajahan yang berbeda di berbagai wilayah Indonesia. Beberapa bagian Indonesia mungkin hanya dijajah oleh otoritas Belanda selama sekitar lima puluh tahun. Maluku, sebaliknya, mengalami salah satu masa penjajahan terlama di Indonesia. Ide mengenai “kepulauan rempah” yang memulai keseluruhan misi Columbus untuk menemukan Amerika merujuk kepada Moluccas atau Kepulauan Maluku. Sejak abad ke-16, kepulauan rempah ini didatangi berbagai bangsa Eropa, mulai dari penjajah Spanyol, Portugis, Inggris, hingga Belanda.

Di masa penjajahan, khususnya saat politik adu domba, salah satu cara memastikan kepatuhan Maluku adalah melalui perpindahan agama. Bagi orang Belanda, mereka yang pindah agama dianggap tangan kanan lokal. Dengan demikian, orang Kristen memiliki posisi istimewa di dalam sistem kolonial Belanda. Orang Belanda menggunakan prajurit Maluku untuk menaklukkan wilayah-wilayah Indonesia lain, sehingga orang Maluku dicap sebagai “Belanda hitam” atau lebih buruk lagi, “anjing-anjing Belanda”. Hal ini menciptakan stereotip yang berakar pada rasisme. Stereotip rasis bahwa orang hitam yang berambut ikal dan berasal dari Timur merupakan manusia tidak beradab dilanggengkan melalui anggapan bahwa orang Maluku adalah simpatisan dan pendukung Belanda. Dengan demikian, terdapat bentuk diskriminasi ganda pascakemerdekaan. Kemudian, pada tahun 1950-an saat terjadi upaya pembentukan Republik Maluku Selatan, stigma-stigma tersebut bertambah kuat.

Sebagai minoritas, seseorang yang berasal dari Indonesian bagian Timur, dan Kristen pula—semua stereotip tersebut membuat semacam kerangkeng. Anda hampir selalu dikriminalisasi, eksistensimu didefinisikan lebih dulu oleh kerangkeng itu. Saya ingat ketika keluar dari Maluku, di mana pendidikan dan latar belakang sosial-ekonomi yang saya punya memberikan beberapa privelese, ke Jakarta, di mana privelese-privelese itu hilang, dan saya harus menghadapi berbagai ide yang tertanam dalam benak orang di Jawa, atas kami yang datang dari Timur.

Narasi tentang kemerdekaan Indonesia tidak boleh terus meminggirkan pengalaman-pengalaman berbeda lainnya. Ketika Anda bicara tentang Maluku, Anda bicara tentang sekelompok orang yang hidup melalui pengalaman penjajahan traumatis selama ratusan tahun. Di bawah penjajahan Belanda, satu-satunya cara bertahan hidup setelah seluruh tanah dan aset Anda dibakar adalah dengan bekerja sebagai prajurit Belanda. Kemudian, setelah kemerdekaan, di bawah sistem Indonesia, terutama setelah RMS dihancurkan, kemudian sebagai minoritas, satu-satunya pilihan bertahan adalah menjadi pendukung NKRI yang setia, karena begitu Anda mengkritisinya, saat itulah Anda berisiko dihancurkan kembali.

Saat Anda, sebagai sekelompok orang, dipandang sebagai pengkhianat, Anda memiliki beban untuk terus-terusan membuktikan dan menampilkan kesetiaan. Contohnya, apabila Anda lihat gerakan-gerakan sosial di Maluku, sangat sulit melakukan protes akibat trauma-trauma ini, ratusan tahun penjajahan ini. Dengan memahami sejarah dan konteks tersebut, Anda dapat mengerti mengapa orang Maluku sangat patriotis dalam merayakan 17 Agustus. Maka, kemerdekaan Indonesia merupakan cerita kompleks tentang kemenangan dan kekalahan. Ia butuh dipahami dan dirayakan seperti itu.

M: Ada beberapa pengkritik yang mungkin saja mengatakan bahwa dekolonialitas menantang NKRI. Bagaimana tanggapan Anda mengenai hal tersebut?

T: Opsi-opsi dekolonial sangat penting bagi narasi tunggal apapun, termasuk narasi tunggal tentang ide negara-bangsa. Dalam hal ini, kita dapat katakan bahwa dekolonialitas kritis terhadap NKRI karena NKRI didasari atas gagasan “negara kesatuan”, yang merayakan persatuan dalam keragaman. Tampak sebagai ide yang optimis: kendati kita berbeda, kita satu. Kenyataannya, keragaman ditolerir selama Anda meletakkannya di dalam kerangka tunggal NKRI. Anda tidak dapat berada di luar kerangka bersama ini, karena jika Anda melakukannya atau bahkan menyarankannya, Anda akan dicap sebagai pengkhianat dan dipaksa mengucapkan “NKRI harga mati”—NKRI, atau mati. Dalam hal ini, NKRI menguatkan keseragaman.

Opsi-opsi dekolonial menyerukan sebaliknya: mengakui perspektif-perspektif yang berbeda dan menyediakan opsi untuk delinking (memutus) hubungan dari kerangka tunggal tersebut. Setelah kemerdekaan, proyek nasional untuk menguatkan NKRI telah membutakan kita dalam melihat berbagai bentuk dan struktur pemerintahan yang ada di seluruh kepulauan. Harusnya, apabila kita benar-benar independen—menjadi merdeka—kita dapat memiliki pilihan tentang apa yang ingin kita lakukan selagi kita melangkah maju. Alih-alih demikian, kita justru menduplikasi pendekatan-pendekatan yang digunakan penjajah dalam membentuk negara-bangsa mereka, sistem-sistem parlementer dan hukum—sehingga melanggengkan gagasan bahwa hanya ada satu cara memerintah, satu cara menuju peradaban, satu cara menuju modernisasi.

Sebagai contoh, narasi yang paling sering digunakan untuk membenarkan penindasan di Papua Barat adalah bahwa kita harus menyelamatkan mereka dari penghancuran diri mereka sendiri.[3] Ini adalah alasan yang juga digunakan Belanda ketika menjajah Indonesia. Kita menganggap bahwa mereka tidak mampu mengatur dirinya sendiri, sehingga kita merasa berhak ikut campur dan membantu mereka dalam mengatur dirinya dan dalam mengadabkan dirinya. Itu karena kita melihat bahwa kita, entah bagaimana, lebih baik dari mereka. Setelah kemerdekaan, terdapat transformasi untuk men-Jawa-kan seluruh bangsa. Contohnya melalui penerapan “pemerintahan desa” di mana-mana. Kita di Maluku tidak pernah memiliki struktur desa. Yang kita milki adalah negeri independen dengan rajanya masing-masing. Dalam pembentukan negara-bangsa, Anda menerapkan struktur seragam dari Sabang sampai Merauke. Semuanya harus mengikuti struktur desa, kecamatan, kabupaten, dan sebagainya—tidak ada satu pun dari hal-hal tersebut yang asli Maluku.

Membeberkan eksklusi soal cara hidup yang berbeda seringkali justru menimbulkan kontroversi yang penuh emosi. Orang menganggap bahwa dengan demikian kita mendukung pemecahbelahan NKRI. Perdebatan mengenai gerakan-gerakan kemerdekaan di dalam Indonesia itu penting, tetapi kita perlu ingat bahwa dekolonisasi—dalam hal ini penjajah yang meninggalkan daerah jajahannya—dengan sendirinya tidak pernah membalik struktur-struktur penindasan kolonial. Kita perlu membayangkan respons yang lebih beragam dan plural terhadap percakapan-percakapan yang sulit semacam ini. Tidak ada jawaban tunggal. Barangkali jawabannya terletak di luar NKRI, tapi mungkin juga di dalam. Hal tersebut bergantung pada suara siapa yang didengar dan dipercaya dalam Republik ini. Selain itu, dekolonialitas adalah soal mengamplifikasi suara-suara yang selama ini paling tidak dihiraukan, disepelekan, bahkan ditindas, hanya karena mereka tidak bisa terkatup rapi di dalam bingkai yang tunggal.

Saya tidak mengusulkan agar kita membalik sejarah. Menurut saya, kita perlu mengakui bahwa NKRI tidak harus menjadi satu-satunya cara hidup. Dan mungkin, dengan mengakui hal tersebut, kita dapat menemukan cara-cara lain untuk hidup dan hidup bersama yang sama validnya. Ini bukan satu-satunya cara, maupun cara terbaik untuk hidup. Indonesia merupakan negara-bangsa yang dibentuk dari penyatuan. Ia tidak ada sebelum penjajahan. Maka, semua wilayah lebih kecil yang ada sebelum penjajahan, mengapa kita bahkan melarang mereka atas opsi untuk membayangkan diri mereka sendiri seperti sediakala, atau bahkan melampauinya? Kini hampir mustahil untuk bahkan membayangkan bahwa eksistensi semacam itu, ataupun bentuk eksistensi lain, dapat terwujud.

M: Jadi, bagaimana harusnya kita merayakan pengorbanan dan perjuangan yang “bapak-bapak pendiri bangsa” curahkan ke dalam kemerdekaan kita?

T: Saya tidak menyangkal bahwa kemerdekaan merupakan kemenangan yang diraih secara berdarah-darah bagi Indonesia. Ketika Anda ditaklukkan, Anda ingin membebaskan diri. Ketika kita berada di bawah jajahan kolonial, membebaskan diri sendiri sama dengan mengusir Belanda, karena Anda ingin mengusir orang-orang yang menindasmu. Yang saya tekankan adalah: pentingnya apa yang terjadi setelah kemerdekaan.

Dengan merayakan ‘Hari Kemerdekaan’, kita tidak boleh melihatnya sebagai ‘akhir’—seakan-akan 17 Agustus memberi akhir dari penjajahan dan segala sesuatunya seketika menjadi tuntas, menjadi baik. Berjuang demi kemerdekaan berarti berjuang deminya setiap hari. Perlu dicatat bahwa, dari perspektif dekolonial, ini tidak sama dengan seruan Orde Baru untuk mengisi kemerdekaan dengan ‘pembangunan’. Seruan pembangunan yang bersifat dari-atas-ke-bawah didasari atas gagasan tunggal tentang pembangunan sebagai modernisasi dan industrialisasi. Sebaliknya, berjuang demi kemerdekaan dari perspektif dekolonial harus menjadi proses yang nonpreskriptif, majemuk, dan menapak secara lokal. Amatilah masyarakat kita setiap hari, dan temukan bentuk-bentuk penindasan yang masih langgeng, belajar memahami akar-akarnya, dan kemudian lihat apa saja yang mampu kita lakukan untuk membalik logika yang melanggengkan marginalisasi dan penaklukan terhadap berbagai kelompok yang berbeda.

Setelah kita berhasil mengusir Belanda, sebenarnya kita hanya terus-terusan menjajah diri kita sendiri lewat cara-cara yang berbeda. Konstitusi kita mendeklarasikan bahwa “penjajahan di atas dunia harus dihapuskan”, tetapi para elite merebut kekuasaan dan mereproduksi penjajahan. Kita tidak mempertanyakan apa pun dan kita terima saja bentuk pemerintahan yang baru ini. ‘Bapak-bapak pendiri bangsa’ kita berjuang dan gugur demi kemerdekaan, tetapi kita perlu ingat bahwa ini adalah perjuangan yang masih terjadi setiap hari. Berjuang demi kemerdekaan tidak terbatas pada perjuangan orang-orang dan provinsi yang menuntutnya. Lihat juga kelompok-kelompok termarjinalkan lain di masyarakat: buruh, masyarakat adat, perempuan—bentuk penindasan apa pun yang kita saksiksan sehari-hari. Kita perlu merayakan mereka yang sudah mengorbankan diri mereka dengan mengingat bahwa makna kemerdekaan harusnya lebih besar daripada sekadar mengusir Belanda. Orang masih berjuang dan bahkan berguguran setiap hari demi bentuk-bentuk kemerdekan dan otonomi lainnya.


[1] Walter Mignolo adalah profesor di Universitas Duke. Untuk membaca lebih lanjut karyanya mengenai dekolonialitas, lihat is a professor at Duke University. To read more on his work on decoloniality, see Walter D. Mignolo (2007) DELINKING, Cultural Studies, 21:2-3, 449-514 and dan Walter D Mignolo (2011) Geopolitics of sensing and knowing: on (de)coloniality, border thinking and epistemic disobedience, Postcolonial Studies, 14:3, 273-283

[2]   Robbie Shilliam adalah profesor di Universitas John Hopkins, yang risetnya mencakup keterlibatan politik dan intelektual dari kolonialisme dan ras dalam tatanan global

[3]   Lihat Soukotta (2019), artikel berjudul “An Uprising in West Papua” https://www.jacobinmag.com/2019/09/protests-west-papua-indonesia-surabaya-attack

Independence means fighting oppression every day: Some decolonial reflections

Interview by Mahardhika (M) Sjamsoeoed Sadjad

for Bahasa Indonesia version, read here.

Photograph: Achmad Sulfikar

I sat down with Tamara (T) Soukotta, a PhD researcher at the International Institute of Social Studies and lecturer at Bachelor International Studies Program, Leiden University. Her research centers around decolonial options/ thinking/ doing that is grounded in experiences of conflict in Maluku (1999-2004), as well as experiences of living and working in The Netherlands as a woman of color. As we approached 17 August 2020, we discussed what Indonesia’s Independence Day means when seen through a decolonial lens.

M: How would you explain decoloniality to someone who isn’t very familiar with the term?

T: I think it is important to start from differentiating three terms that are often conflated with one another: decolonization, post-colonialism, and decoloniality.

Decolonization is the process of European colonisers leaving the colonies, that resulted in former colonized nations declaring their independence and becoming recognized as sovereign states. In Indonesia, this process is commemorated on 17 August 1945, when our founding fathers unilaterally declared Indonesia’s independence. This was followed by a four-year war against the Dutch, which finally agreed to transfer the sovereignty of most of its territory in the East Indies in 1949 and its part of New Guinea (now Papua) in 1963 to the Indonesian government.

Post-colonial theory argues that after decolonization, colonial structures of power were reproduced by new elite groups that took up positions of power after the formation of new nation-states. As such, colonial structures of power continue to exist until now. In development studies, this logic is often used to understand existing systematic inequalities around the world.

Decoloniality brings this logic of oppression further in connection to modernity, specifically a singular narrative of being ‘modern’ that is defined by Western ideals. Walter Mignolo[1] proposes decoloniality as a logic that delinks from coloniality by putting ourselves as separate subjects from this singular narrative. This is not necessarily to say that all Western ways of thinking or epistemologies are wrong and should be dismissed, but it should be “reduced to size”. Rather than taking Western knowledge as the way of knowing, decoloniality argues there are other ways of knowing that are equally valid. In this sense, Western traditions should be “put to size”, as equal to others and not a universal truth.

For me as a researcher, engaging with decolonial options/ thinking/ doing, starts from recognizing that I am a colonial subject. I was educated and trained in a Western tradition. So, for me to arrive at decolonial options, I had to first unlearn what I was taught to believe was “proper scientific methods” and the limitations of what can be considered knowledge. I did it out of necessity as someone originating from Maluku, personally experiencing a decade of conflict from the late 90s to the early 2000s, and having to face explanations of the conflict that didn’t make sense according to my experiences. So decolonial options gave the methodological tools and ontological-epistemological spaces I needed to pursue my research.

M: What does the 17th of August mean to you, looking from decolonial perspectives?

T: Decoloniality would start from questioning independence and what it actually means. When I did my dissertation draft seminar, my external examiner, Robbie Shilliam[2], said in response to my presentation: “Independence is a triumph of colonialism”. It took me some time to reflect on this statement. I think there are two ways to see this.

First, the formation of nation-state is a colonial product. The whole structure of nation-states originated in The West. So even though Western colonizers left through processes of decolonization, the ideas that validated various forms of oppressions continue to exist. The logic of coloniality, through relations of power, structures of knowledge, gender, etc. – these are different types of colonialism that did not leave when the colonizers physically left. They are embedded in the structures of governance that were taken over by the elite groups that form the nation-state.

Our founding fathers, for example, those who were part of Kongres Pemuda (Youth Congress) in 1928, they were all young (mostly) men and women educated by the Dutch. Yes, they were all resisting colonial power, but their idea of independence was limited to getting rid of Dutch colonizers and not necessarily to get rid of ideas of coloniality and existing logics of oppressions. The uniting of Indonesia under a singular motherland, nation, and language planted the seed to fight the Dutch colonizers but simultaneously erased from the state’s narrative the different experiences of colonization that existed across the archipelago. 

Second, the independence of new nation-states exists within colonial discourse. Decolonization provided western colonizers with the historical milestone to wash their hands off from long term consequences of imperialism, shifting the responsibility to the newly independent nation-states. So, if the Indonesian government is guilty of committing acts of oppression and violence after independence, the ‘bad’ people are the Indonesian people not the colonizers. They [former colonizers] are able to say, “It’s ‘your’ problem, not ‘our’ problem”. The colonizers are not responsible for whatever happens after independence even though most of these conflicts are rooted in historical processes that started long ago, sentiments that were cultivated between these different groups through strategies of divide and conquer.  So colonial logic and oppression continues, but this time it’s on “you”.

M: What are examples of other experiences that we need to acknowledge as part and parcel to the independence and formation of our nation?

T: We need to remember that we have different experiences of colonization in different parts of Indonesia. Some parts of Indonesia might have only been colonized under Dutch authority for about fifty years. Maluku, however, experienced one of the longest histories of colonization in Indonesia. The idea of “spice islands” that started the whole mission of Columbus discovering America were the Moluccas or the Maluku Islands. From the 16th century, these spice islands attracted different European nations, from the Spaniards, the Portuguese, to the British and Dutch colonizers. So, Maluku has experienced four hundred years of imperialism and, some might argue, continues to experience it.

Under colonization and strategies of divide and conquer, one of the ways to ensure obedience of Maluku was through religious conversion. For the Dutch, people who are converted became the most trustworthy among the locals. As such, Christians had a privileged position within the Dutch colonial system. The Dutch used Moluccan soldiers to conquer other parts of Indonesia, which led Malukans to be stigmatized as “black Dutchmen” or even worse, “Dutch watch dogs”. This created a stereotype that is rooted in racism. The racist stereotype of being black, with curly hair, from the East means you are backward and less was perpetuated by the fact that Malukans were seen as Dutch sympathizers and supporters. So, there is a double form of discrimination after independence. Then in the 1950s with the rebellion of trying to form the Republic of Southern Maluku, these stigmas became even stronger.

As a minority, coming from the Eastern part of Indonesia, as Christian as well – all of these stereotypes create a kind of cage. You are almost criminalized in a way, your existence pre-defined by this box. I remember my own experience of moving out from Maluku, where my education and socio-economic background allowed me some privileges, to Jakarta where all these privileges were lost and I had to face the different preconceived ideas people in Java often have of us coming from the East.

The narrative of Indonesian independence cannot continue to exclude these other experiences. When you talk about Maluku, you are talking of a people who have lived through the traumatic experience of oppression for hundreds of years. Under the Dutch the only way to survive after your whole land and all your assets were burned was to work as a Dutch soldier. Then after independence, under the Indonesian system, especially after RMS was crushed, then as a minority the only option to survive is to become very supportive to the NKRI because the moment you become critical of it you are at risk of being crushed again.

When you, as a group of people, is seen as a traitor, you have the burden to constantly prove and perform loyalty. For example, if you look at social movements in Maluku, it is very difficult to hold a protest because of all this trauma, these hundreds of years of oppression. Understanding this history and context, you will understand why Maluku people are very patriotic in celebrating the 17th of August. So, Indonesia’s independence a complex story of both victory and losses. It needs to be understood and commemorated as such.

M: There are critics who might say that a decoloniality challenges the NKRI (the Unitary State of the Republic of Indonesia). How would you respond to that?

T: Decolonial options is critical to any single narrative, including a single narrative on the idea of nation-state. In this sense, we can say that decoloniality is critical of NKRI because it is based on the notion of “negara kesatuan” (unitary state) that celebrates unity in diversity. It seems like an optimistic idea: although we are different, we are one. The reality is that diversity is only tolerated so long as you are putting yourself within one singular frame of NKRI. You cannot exist outside of this common frame, because if you do or even suggest it you will be seen as a traitor, forced to face the phrase “NKRI harga mati” – in other words NKRI or death. In that sense NKRI enforces uniformity.

Decolonial options calls for the opposite: to acknowledge different perspectives and allow the option to delink from this singular frame. After independence, the national project of solidifying NKRI stopped us from seeing different forms and structures of governance that existed across the archipelago. Supposedly, being truly independent – being free – we should have had options in front of us on what we wanted to do as we move forward. Instead, we just duplicated the same approaches that the colonizers used in forming their nation-states, their parliamentary and legal systems – thus continuing this idea that there is only one way of governing, one way to civilization, one way to modernization.

For example, the narrative often used to justify oppression in West Papua, is that we have to save them from destroying themselves[3]. This was the same rationale the Dutch used to colonize us. We don’t think they are capable of self-governance and therefore we have to jump in to help them govern themselves, to help them civilize themselves. Because we see ourselves as somehow better than them. After independence, there was transformation to Javanize the whole nation. For example, through the establishment of ‘pemerintahan desa’ (village governance) everywhere. We never had the structures of desa (village) in Maluku. Instead we had independent negeri (independent states) with their own raja (kings). In the formation of the nation-state, you establish a uniformed structure from Sabang to Merauke. Everything follows the structure of desa (village), kecamatan (sub-district), kabupaten (regency), all these things – none of which are indigenous to Maluku.

Pointing out the exclusion of these “ways of being” often trigger emotional controversy. People presume that to do so means we support breaking up the NKRI. Debates about independence movements within Indonesia is important, but we need to remember that decolonization—referring to the colonizers leaving the colonies—on its own never undid the oppressive structures of colonialism. We need to imagine a more nuanced, plural response to these very difficult conversations. There isn’t one answer that will fit all. Perhaps the answers lie outside of NKRI, but also equally possible that the answers lie within it. This depends on whose voices get heard and given credence within the Republic. Decoloniality in a way is also about amplifying the voices that are most often ignored, dismissed, oppressed even, just because they do not fit neatly into a singular frame.

I am not suggesting to somehow undo history. I am arguing for the need to recognize that NKRI doesn’t have to be the only way to exist. And maybe by recognizing this, we can find different ways to exist and co-exist that are just as valid. This is not the only way nor the best way to exist. Indonesia is a nation-state formed out of unification. It didn’t exist before colonization. So, all these different smaller states that had existed prior to colonization, why can’t we even allow them the options to imagine themselves as they once were, or even beyond? Nowadays it’s near impossible to even think that that or other kind of existence is possible.

M: So how should we commemorate the sacrifices and struggles that our “founding fathers” put into our independence?

T: I’m not negating the fact that independence was a hard-fought victory for Indonesia. When you are conquered, you want to free yourself. When we were under colonial rule, freeing yourself means getting rid of the Dutch because you want to get rid of people who oppress you. What I want to emphasize is: what happens after independence matters.

In commemorating ‘Independence Day’, we mustn’t see it as ‘the end’- as if the 17th of August brought the end of colonization and all was done, all was well. Fighting for independence means fighting for it every day. It should be noted that, from a decolonial perspective, this does is not the same as the New Order’s call to fill independence with ‘development’. The top-down call for development is based on a singular idea of development as modernization and industrialization. Instead, fighting for independence from a decolonial perspective needs to be a non-prescriptive, plural, locally grounded process. Observe our society every day and see what forms of oppression still exists, learn to understand their roots, see what we can do to undo the logic that perpetuates the marginalization and subjugation of different groups.

After we got rid of the Dutch, we just continued to colonize ourselves in different ways. Our constitution declares that “penjajahan di atas dunia harus dihapuskan(occupation should thus be erased from the earth), butthe elite took power and reproduced it. We didn’t question anything and we accepted this new form of governance. Our ‘founding fathers’ fought and died for independence, but we should remember that this is a struggle that still happens every day. Fighting for independence is not limited to the struggles to peoples and provinces who demand it. Look also at other marginalized groups in our society: labor, indigenous people, women – any kind of oppression we see on a daily basis. We should commemorate those who have sacrificed by remembering that independence should mean something bigger than just getting rid of the Dutch. People are still fighting and even dying for other forms of independence and autonomy every day.   


[1] Walter Mignolo is a professor at Duke University. To read more on his work on decoloniality, see Walter D. Mignolo (2007) DELINKING, Cultural Studies, 21:2-3, 449-514 and Walter D Mignolo (2011) Geopolitics of sensing and knowing: on (de)coloniality, border thinking and epistemic disobedience, Postcolonial Studies, 14:3, 273-283

[2] Robbie Shilliam is a professor at John Hopkins University, whose research focuses on political and intellectual complicities of colonialism and race in the global order

[3] See Soukotta (2019) article entitled “An Uprising in West Papua” https://www.jacobinmag.com/2019/09/protests-west-papua-indonesia-surabaya-attack

“Cowo Banget”: Memahami Makna Toxic Masculinity di Indonesia

Bagaimana kita membentuk seorang anak lelaki menjadi seorang pria?
Berefleksi dari pertanyaan ini, Mahardhika Sadjad dan Fajri Siregar membahas isu toxic masculinity di Indonesia. Mereka menemukan bahwa kemauan untuk memahami toxic masculinity menjadi pintu masuk untuk membahas ketidaksetaraan jender. Sayangnya, ini belum cukup untuk mengatasinya.
Ditulis oleh Mahardhika Sajad dengan bantuan pengumpulan data oleh Fajri Siregar.

Diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Syarafina Vidyadhana. Versi Bahasa Inggris dapat dibaca di sini

Kredit foto: Pixabay/Carlos Quintero

“Sewaktu kecil, teman-teman sekolah, guru, kemudian kakak-kakakku sendiri, misalkan kalau aku nangis karena suatu hal, pasti pada bilang, “Jangan nangis dong lo, kayak cewek aja. Jadi cowok nggak boleh nangis, nggak boleh lemah.” Laki-laki harus lebih kuat dari perempuan.”

(Jaka, pseudonim, kutipan wawancara)

Sewaktu saudara perempuan saya mengandung anak laki-lakinya, kami berdiskusi panjang soal apa-apa yang diperlukan untuk mengasuh seorang laki-laki. Kami sadar akan tuntutan masyarakat agar laki-laki kuat dan aktif, tapi kami ingin supaya ia juga tenggang hati, lembut, dan peka dengan orang lain dan kebutuhan sekitarnya. Kami tidak berdiskusi seperti ini saat keponakan perempuan saya lahir enam tahun silam. Mungkin karena dibesarkan dalam keluarga dengan tiga bersaudara perempuan, tak satupun saudara laki-laki, tanpa dibahaspun kami menyadari pentingnya mengajarkan perempuan supaya cerdas, mandiri, dan kuat terutama karena masyarakat kita seringkali memaksakan sebaliknya. Jika kita harus bekerja keras memberdayai anak-anak perempuan supaya kelak mereka dapat memenuhi potensinya; bagaimana sebaiknya kita membesarkan anak laki-laki? Mungkin kita dapat menemui jawabannya dengan mempertanyakan pemahaman dogmatis tentang maskulinitas, atau yang kerap kita kenal dengan istilah “toxic masculinity.”

Artikel ini disusun berdasarkan wawancara informal semi-terstruktur dengan empat perempuan Indonesia dan tujuh laki-laki Indonesia. Fajri dan saya mengawalinya dengan menghubungi empat perempuan Indonesia yang mengenali dirinya sebagai feminis, aktivis, dan/ atau peneliti yang paham kajian-kajian feminis dan gender. Mereka membantu mengukuhkan pemahaman kami mengenai konsep-konsep utama yang relevan dalam menelusuri toxic masculinity. Selanjutnya kami mewawancarai tujuh laki-laki, dengan rentang usia 25–35 tahun, tentang pengalaman mereka “menjadi laki-laki” di Indonesia, bagaimana hal tersebut dibentuk dan dipengaruhi oleh hubungan-hubungan mereka dengan perempuan dan laki-laki lain, dan pergumulan mereka menapaki berbagai fase hidup seperti pubertas dan keayahan.

Dari keseluruhan peserta laki-laki, tiga di antaranya mengenali dirinya sebagai laki-laki heteroseksual, tiga lainnya sebagai laki-laki homoseksual, dan satu sebagai queer. Meski ketujuh peserta wawancara memiliki latar belakang etnis dan agama berbeda-beda, semua setidaknya lulusan sarjana. Sebagian besar peserta tinggal atau pernah tinggal di kota-kota besar di Indonesia, terutama Jakarta, dan pada umumnya pernah atau sedang tinggal di luar negeri. Mereka memiliki tingkat pemahaman yang beragam akan perdebatan seputar gender dan seksualitas, meski hanya empat peserta yang sebelumnya akrab dengan istilah “toxic masculinity”.

Kami mengakui bahwa peserta riset[1] kami tidak representatif terhadap masyarakat Indonesia secara luas; oleh karena itu, ini bukan sebuah upaya untuk menyatakan klaim-klaim apapun yang dapat mengeneralisir toxic masculinity di Indonesia. Alih-alih, artikel ini menawarkan wawasan tentang bentuk-bentuk toxic masculinity yang ada pada konteks Indonesia; wawasan yang, kami harap, dapat berkontribusi pada renungan dan keterlibatan pembaca dalam diskusi-diskusi terkait relasi dan ketimpangan gender.

Patriarki, Maskulinitas Hegemonik, dan Maskulinitas Beracun

Istilah “toxic masculinity” semakin umum dijumpai dalam obrolan soal gender, terutama tapi tak terbatas pada media Barat (contohnya Putri 2015; Salam 2019; Salter 2019). Istilah ini sering kali digunakan untuk menggambarkan bagaimana perilaku dan nilai maskulin ideal, seperti keteguhan, pemendaman emosi, dan kecenderungan terhadap kekerasan, berdampak korosif bagi laki-laki dan perempuan. Akan tetapi, toxic masculinity sering kali disalahpahami sebagai kritik terhadap maskulinitas dan laki-laki secara umum. Banyak orang memandang istilah tersebut sebagai dogma generalisasi bahwa semua maskulinitas pasti beracun dan, oleh karena itu, semua laki-laki pasti beracun. Di sini kami ingin menekankan: Itu bukan yang kami maksud dengan toxic masculinity.

Kita perlu berangkat dari premis mendasar bahwa maskulinitas bersifat plural. Maskulinitas tidak merujuk pada laki-laki belaka, meski masyarakat terbiasa mengaitkan perilaku dan nilai maskulin dengan laki-laki. Ada banyak cara untuk mengekspresikan maskulinitas. Tetapi, terdapat konstruksi dan gagasan dominan yang membentuk bagaimana masyarakat mengajarkan anak laki-laki supaya menjadi “pria sejati.” Konstruksi dominan tersebut lebih dikenal dengan sebutan “maskulinitas hegemonik.” Connell (2014:8) menerangkan:

Maskulinitas hegemonik artinya pola maskulinitas yang paling dimuliakan, yang menduduki posisi sentral dalam sebuah struktur relasi gender dan keistimewaan dari posisinya tersebut membantu menciptakan ketertiban gender secara keseluruhan, terutama subordinasi para perempuan.

Maskulinitas hegemonik mereproduksi struktur-struktur rumit yang terdiri atas berbagai relasi gender dalam suatu sistem patriarki; sistem yang menempatkan para perempuan dan kelompok marjinal lain yang tidak mengikuti konstruksi gender dominan pada posisi yang merugi. Oleh karena itu, maskulinitas juga bersifat relasional , sebab ia tidak dipahami dalam ruang hampa. Ini dijelaskan oleh salah seorang peserta wawancara, kandidat doctoral yang menekuni bisang studi decolonial:

Terdapat berbagai tipe maskulinitas, sebab ia bersifat plural. Maskulinitas hegemonik mengajarkan laki-laki untuk mendominasi… Laki-laki harus kuat, jadi pemimpin jantan yang perlu menundukkan perempuan-perempuan dalam hidup mereka, laki-laki adalah makhluk rasional, mereka tidak dapat mengungkapkan perasaan-perasaan yang dianggap lemah, seperti kesedihan. Hal ini merenggut kesempatan mereka untuk menjadi manusia seutuhnya yang memiliki berbagai macam emosi. Tipe maskulinitas hegemonik ini beracun bagi laki-laki maupun perempuan,  hubungan antar keduanya, dan hubungan antar sesama laki-laki dan sesama perempuan.

Maskulinitas hegemonik tak hanya diletakkan sebagai lawan feminitas, tetapi juga lawan bentuk-bentuk maskulinitas lain yang termarjinalkan di dalam masyarakat (Connell, Ibid.). Penting untuk menekankan bahwa istilah toxic masculinity tidak bermaksud mengejikan laki-laki dan konstruksi-konstruksi maskulin. Sebaliknya, ia bertujuan menyorot perilaku-perilaku atau nilai-nilai maskulin yang menindas para perempuan dan laki-laki yang gagal memenuhi citra “ideal” yang ditetapkan masyarakat patriarki.

Pengalaman dengan Toxic Masculinity dalam Konteks Indonesia

“Keluargaku tuh nyuruh aku kalau jalan harus seperti laki-laki. Suara harus jadi lebih tegas.”

(Firman, pseudonim, kutipan wawancara)

Ketika diminta berpendapat mengenai toxic masculinity, kesebelas peserta menggunakan kata-kata serupa untuk menggambarkan sifat-sifat yang mereka rasa masuk ke dalam kategori toxic masculinity, misalnya “dominasi,” “kekuatan,” “kuasa,” dan “kekerasan.” Sebagian besar mengaitkan sifat-sifat ini dengan penindasan dan objektifikasi perempuan, menyebut subordinasi peran perempuan dalam rumah tangga atau normalisasi gurauan seksis sebagai contoh. Seiring berkembangnya pembicaraan kami, para peserta laki-laki diminta merenungkan pengalaman pribadi mereka saat tumbuh dewasa, dan ketujuh peserta mengenali keterbatasan  serta pergulatan mereka dalam memenuhi ekspektasi masyarakat akan sifat-sifat maskulin yang “ideal.”

Kisah-kisah mereka melukiskan bagaimana ekspektasi-ekspektasi tersebut memengaruhi kepercayaan diri mereka, membatasi atau setidaknya membentuk pilihan-pilihan mereka; bagi sebagian orang, hal ini juga berkontribusi pada perasaan dikucilkan dan kekalutan akan identitas seksual mereka. Saat ditanya kapan atau bagaimana mereka mulai memandang diri sebagai “cowok,” sebagian besar peserta merujuk ke perkawanan di masa kanak-kanan, mainan, dan berbagai kegiatan olahraga yang dianggap “pantas” untuk identitas gender mereka. Sementara itu, segelintir peserta menceritakan kesulitan mereka berbaur dengan kelompok sesama gender seumurannya. Saat masih anak-anak, bahkan sebelum menyadari orientasi seksual mereka, tiga peserta yang mengenali diri sebagai gay mengalami perisakan oleh laki-laki sebaya dan merasa lebih aman berkawan dengan perempuan.

Contohnya, Firman (pseudonim), yang semenjak dewasa mengenali diri sebagai queer, sering mengalami perisakan saat masih kecil. Anak-anak seumurannya sering mengejeknya dengan sebutan banci atau bencong, dan anggota keluarga yang “niatnya baik” mendesak supaya ia mengubah gayanya berjalan dan berbicara menjadi lebih “laki.” Baru di SMA, saat  ia secara sadar memutuskan untuk lebih banyak diam dan menarik diri dari pergaulan, perisakan itu mulai mereda. Gagasan bahwa anak laki-laki dan laki-laki dewasa hanya boleh bermain dengan mainan tertentu, berjalan dan berbicara dengan gaya tertentu dengan risiko dikucilkan jika tidak menyesuaikan diri, adalah bagian dari hal-hal yang membentuk pemahaman kita tentang toxic masculinity. Gagasan dan perulaku seperti ini mencegah kita memandang maskulinitas sebagai hal yang plural, memaksakan pandangan sempit tentang cara menjadi laki-laki “sejati.”

Sepanjang wawancara, seiring kelanjutan kisah-kisah mereka dari masa kanak-kanak ke masa remaja, sebagian besar peserta mengaitkan maskulinitas dengan olahraga, Paskibra, dan tawuran antar sekolah. Saat SMA, Irfan mengenali tiga kelompok yang dipandang paling “laki”:  “brigade,” yang merupakan otot otoritatif OSIS; “pencinta alam” yang gemar mendaki gunung dan mencari petualangan; dan “cowok bandel” yang menentang otoritas dengan bolos sekolah, merokok, dan berkelahi. Meski ketiga kelompok ini merepresentasikan maskulinitas hegemonik,  masing-masing kelompok mengekspresikan maskulinitasnya dengan cara yang berbeda.

Irfan bercerita, kala itu salah seorang siswa “cowok bandel” di sekolahnya  memamerkan bahwa ia berhasil membuat mabuk seorang siswi dan berhubungan seks saat siswi tersebut dalam keadaan tidak sadar. Kelak, saat Irfan dewasa, barulah ia menyadari bahwa kejadian tersebut merupakan pemerkosaan. Tapi Irfan tak tahu pasti apakah insiden tersebut benar-benar terjadi atau bualan belaka. Apapun itu, yang jelas sang siswa menceritakannya dengan gaya penuh kemenangan, tanda bahwa dominasi atas perempuan tidak hanya dipandang wajar, tapi juga didukung sebagai ungkapan maskulinitas. Menariknya, meski dianggap “cowok banget” di kalangan sekolah sendiri, kelompok “cowok bandel” ini masih “kalah bandel” dari siswa-siswa STM; olehnya,  mereka dilempari beha sebagai ejekan karena enggan terlibat tawuran antar sekolah. Dominasi atas perempuan, kekerasan sebagai ajang unjuk maskulinitas, dan pengaitan feminitas dengan sifat lemah (dalam hal ini ditunjukkan dengan beha, yang merupakan pakaian dalam perempuan) adalah hal-hal yang semakin menguatkan toxic masculinity.

Meski cerita di atas terdengar seperti contoh yang ekstrem, toxic masculinity juga ditampilkan melalui bentuk-bentuk lain yang lebih bernuansa. Neqy, penggagas Komunitas perEMPUan dan aktivis, membahas pengalamannya pada suatu unjuk rasa di Jakarta.

Bersama teman-teman yang mengangkat isu kekerasan terhadap perempuan, kami membentuk satu barisan, kebanyakan perempuan. Tiba-tiba ada mahasiswa-mahasiswa nih, cowok-cowok, mahasiswa yang jaketnya masih pada mulus, mereka berteriak, “Yang cewek mundur!”. Gue dan teman-teman bilang, “Nggak, kami di sini. Kami sudah biasa demo dan baik-baik aja”.

Pengalaman Neqy menyingkap bagaimana ekspektasi maskulin untuk “melindungi” perempuan sering kali justru berujung mengucilkan perempuan. Asumsi para mahasiswa bahwa laki-laki secara inheren lebih mampu mengatasi situasi-situasi yang kemungkinan berbahaya, seperti pada unjuk rasa, gagal mempertimbangkan pengalaman-pengalaman orang lain. Pemisahan peran berbasis gender, alih-alih kemampuan, berpotensi membahayakan laki-laki yang kurang berpengalaman dan meremehkan kemampuan perempuan untuk berperan aktif di ruang publik.

Gagasan bahwa laki-laki harus melindungi perempuan tidak hanya mungkin berujung pada penindasan perempuan, ia pun bisa merugikan laki-laki karena mereka senantiasa dituntut untuk menunjukkan kekuatan dan menyembunyikan kerentanan. Jaka (pseudonim), misalnya, berbagi soal pengalamannya di masa lalu menggunakan alkohol dan napza sebagai mekanisme meredam perasaan-perasaan seperti kesedihan. Lima peserta laki-laki mengaku jarang mendiskusikan isu-isu terkait perasaan atau emosinya dengan kawan lelaki.

Setelah dewasa, para peserta merasa lebih nyaman dengan identitas gender dan orientasi seksual masing-masing. Meski demikian, mereka tetap merasakan tekanan dari masyarakat; kali ini  untuk menampilkan maskulinitas lewat karir dan/atau pernikahan yang sukses. Irfan, laki-laki heteroseksual lajang, mengaku beberapa kali mempertimbangkan karir alternative yang lebih lukratif saat mengencani perempuan yang ia pandang lebih sukses; Jaka, laki-laki heteroseksual yang sudah menikah, menceritakan tekanan yang ia rasakan saat masih tinggal bersama mertua, karena mereka menganggap ia dan istrinya belum cukup mapan untuk bisa hidup mandiri; sementara itu, Surya, laki-laki homoseksual lajang, merasakan tekanan besar untuk tidak pernah gagal berkarir sebagai upaya menebus “ketidakmampuannya” memenuhi harapan masyarakat untuk berkeluarga, khususnya di konteks Indonesia. Mengajarkan anak laki-laki supaya kuat agar kemudian dipandang “jantan” sering kali mengorbankan ruang untuk berempati dan mengungkapkan kerentanannya.

Melampaui Maskulinitas Beracun: Mengaburkan Batas-Batas Biner dan Merengkuh Pluralitas

Dalam wawancara kami, toxic masculinity menawarkan titik awal yang bermanfaat untuk membuka pembicaraan, untuk merenungkan reproduksi identitas gender maskulin yang kaku pada berbagai fase kehidupan peserta. Ia mengizinkan peserta mendiskusikan pergumulan mereka, baik di masa lalu maupun sekarang dengan harapan masyarakat yang dibentuk maskulinitas hegemonik. Ia juga membantu mengidentifikasi sifat-sifat maskulin yang merugikan seperti pemendaman emosi, tendensi terhadap kekerasan atau perilaku merusak diri, perlawanan terhadap kerentanan dan empati, serta penindasan terhadap perempuan dan maskulinitas-maskulinitas termarjinalkan.

Akan tetapi, mengenali potensi bahaya toxic masculinity tidak sepenuhnya menjawab pertanyaan awal kami: bagaimana sebaiknya kita membesarkan anak laki-laki?

Rio (pseudonim), manajer di sebuah lembaga riset, merasakan dilema saat ditanya norma-norma gender apa yang akan ia ajarkan kepada anak laki-lakinya. Rio mengenali kebutuhan mengajarkan anak laki-laki untuk menghormati dan berempati dengan perempuan serta mengakui perlakuan istimewa yang dapat ia nikmati dalam kehidupan bermasyarakat berkat gendernya. Namun, ia juga berujar, “Melepaskan priveleges… Agak susah ya. Kan gue tidak ingin anak gue nanti kesulitan. Gimana ya, gue nggak ingin anak gue kalah [bersaing] kalau sudah gede, gue ingin dia berkuasa.” Meski mengenali bahaya toxic masculinity, konstruksi biner antara laki-laki dan perempuan sebagai berlawanan, asumsi bahwa empati dan respek berpotensi melemahkan, dan pandangan bahwa kuasa adalah sumber daya terbatas yang diperebutkan dalam zero-sum game; semua hal ini menghalangi kita memandang lebih luas, melampaui relasi-relasi gender yang telah ada.

Galih (pseudonim), yang mengenali dirinya sebagai laki-laki homoseksual, menghadapi dilema yang berbeda. Galih mengaku selalu curiga dan sulit percaya dengan laki-laki. Menurut dia, ini disebabkan pengalaman menyaksikan langsung contoh-contoh toxic masculinity dari cara ibunya diperlakukan oleh ayahnya, kakak perempuannya diperlakukan buruk oleh pacar laki-laki, dan juga pengalaman Galih sendiri yang mengalami kekerasan seksual di tangan seorang pria. Persepsi negatif terhadap laki-laki membuatnya merasa protektif atas para perempuan dalam hidupnya, dan menyampingkan perasaan-perasaan laki-laki lain. Saat ditanya lebih lanjut, ia mengakui bahwa pengabaiannya terhadap perasaan laki-laki dan luka yang mungkin ia timbulkan pada pasangan laki-lakinya turut mereproduksi toxic masculinity. Dikotomi simplistis bahwa laki-laki adalah pelaku penindasan dan perempuan adalah korbannya, perlu dibongkar demi mengakui bahwa relasi gender, meski memang tidak setara, juga kompleks dan bernuansa.

Sebagaimana ditunjukkan nukilan wawancara bersama Rio dan Galih, mengenali sifat-sifat toxic masculinity tidak sama dengan mengatasinya. Bergerak melampaui toxic masculinity memerlukan pembicaraan terbuka dan pribadi mengenai identitas gender dengan cara yang lebih inklusif dan cair. Ia tak hanya menuntut supaya kita menyelisik ke dalam pengalaman gender masing-masing, tetapi juga mewajibkan kita memandang secara relasional (dalam kaitannya dengan pihak lain) bagaimana ekspresi dan ekspektasi gender kita memengaruhi lingkungan sekitar: dari orang-orang terkasih sampai anggota masyarakat terpinggirkan yang sering kita abaikan.


[1] Kami akan menggunakan cara yang berbeda-beda saat mengutip atau mengacu kepada peserta kami, tergantung pilihan masing-masing peserta. Dari sebelas peserta (empat perempuan dan tujuh laki-laki), enam di antaranya meminta kami menggunakan pseudonim, satu orang memilih disebut dengan inisial, satu orang meminta tidak disebut namanya, dan tiga orang menyetujui penyebutan nama asli mereka.

“Walk Like A Man”: A reflection on toxic masculinity in Indonesia

How do we raise our boys into men? Reflecting on this question, Sadjad and Siregar discuss toxic masculinity in Indonesia. They find that recognizing toxic masculine traits was a valuable entry point to discussions of gender inequality. Unfortunately it is not the same with unlearning them.

Written by Mahardhika S. Sadjad, with research support and editing by Fajri Siregar

Credit: Pixabay/Carlo Quintero

“When I was little, my friends, teachers, and older siblings; when I cried, they would tell me not to be like a girl. Boys shouldn’t cry, mustn’t be weak, we are expected to be stronger than girls.”

(Jaka (pseudonym), from interview excerpt)

When my sister was pregnant with my nephew, we had a long conversation of what it might take to raise a boy. We understood that society requires boys to be strong and active beings, but we wanted him to also be thoughtful, gentle, and sensitive to others and their needs. We did not have this conversation when my niece came into the world six years prior. As women raised in a family of three sisters and no brothers, it just went without saying that teaching girls to be smart, independent, and strong was crucial in a society that often pushes them to be otherwise. If empowering our girls might allow them to meet their full potential, what do we do with our boys? Perhaps the answer lies in questioning dogmatic understandings of masculinity, which is often referred to as ‘toxic masculinity’.

This article is based on informal semi-structured interviews with four Indonesian women and seven Indonesian men. Fajri and I started by reaching out to four Indonesian women who identify as feminists, activists, and/ or researchers who are well-versed in feminist and gender studies. They helped strengthen our understanding of key concepts relevant to thinking about toxic masculinity. We then interviewed seven men, ages 25 to 35, on their personal experiences of ‘becoming men’ in Indonesia, how this was informed by and affected their relationships with women and other men, and their struggles in navigating various life-phases such as puberty and fatherhood.

Among our seven male participants, three identified as heterosexual men, three identified as gay men, and one identified as queer. While the seven participants come from diverse ethnic and religious backgrounds, they all have at least bachelor’s degrees. Most participants live(d) in urban Indonesian cities, mainly Jakarta, and largely have had past or present experiences living abroad. They have various degrees of familiarity with debates on gender and sexuality, although only four of them were familiar with the term ‘toxic masculinity’ prior to our interviews.

Noting that our participants[1] are not representative of wider Indonesian society, we were not attempting to make any generalizable claims regarding toxic masculinity in Indonesia. Instead, this article offers insight into some existing forms of toxic masculinity in the Indonesian context, which we hope can contribute to readers’ reflection and engagement in discussions on gender relations and inequalities.

Patriarchy, Hegemonic Masculinity, and Toxic Masculinity

The term ‘toxic masculinity’ has become increasingly common in conversations about gender, especially in, but not limited to, Western media (e.g. Putri 2015; Salam 2019; Salter 2019). The term is often used to describe how idealized masculine behaviors and beliefs, such as toughness, the suppression of emotions, and a tendency towards violence, have detrimental effects on both men and women. However, toxic masculinity is often misunderstood to be a critique towards masculinity and men in general. Many perceive it to be a generalizing dogma that all of masculinity is toxic, and therefore men are toxic. Let us be clear: This is not what we mean by toxic masculinity.

We must start from the basic premise that masculinity is plural. Masculinity does not refer exclusively to men, although society commonly associates masculine behaviours and values with men. There are more than one way to perform masculinity. However, there are dominant constructs or ideas that inform how society teaches boys to become ‘real men’. These dominant constructs are often referred to as ‘hegemonic masculinity’. Connell (2014: 8) wrote:

Hegemonic masculinity means the pattern of masculinity which is most honoured, which occupies the position of centrality in a structure of gender relations, and whose privileged position helps to stabilize the gender order as a whole, especially the social subordination of women.

Hegemonic masculinity reproduces complex structures of gender relations in a patriarchal system, where women and other marginalised groups that do not adhere to dominant gender constructs are placed at a disadvantage. Therefore, masculinity is also relational, as it is not understood in a vacuum. As one interviewee, a PhD Researcher working on decolonial options, made this clear:

There are different types of masculinities, it is plural. The hegemonic masculinity teaches men to dominate… Men should be strong, alpha males, that need to subject women in their lives, men are rational, they cannot express emotions that are considered weak, like sadness. This deprives them from the opportunity to be complete human beings with a wide range of emotions. This type of hegemonic masculinity is toxic for both men and women, the relations between the two, and relations among men and among women themselves.”

Hegemonic masculinity is not only placed in contrast to femininity, but also to marginalised forms of masculinity that exist in society (Connell, Ibid.). It is important to emphasize that the term toxic masculinity does not suggest the demonization of men and masculine constructs. On the contrary, toxic masculinity is meant to highlight hegemonic masculine behaviors or beliefs that subjugate women and men who fail to live up to what patriarchal societies perceive to be ‘ideal’.

Experiences with Toxic Masculinity in an Indonesian Context

“My family told me to walk like a man. My voice needed to be more forceful.”

(Firman (pseudonym), from interview excerpt)

When asked for their opinions on toxic masculinity all eleven participants used similar words to describe what they felt were common toxic masculine traits, such as “domination”, “strength”, “power”, and “violence”. Most connected these traits with the subjugation and objectification of women, giving examples such as the subordination of women’s roles within the household or the normalization of sexist jokes. As conversations developed and our male participants were asked to reflect on their own experiences growing up, all seven of them recognized their own limitations and struggles in fulfilling society’s expectations of ‘ideal’ traits of masculinity.

Their stories illustrated how these expectations influenced participants’ self-confidence, limited or affected their choices, and, for some, contributed to a sense of exclusion and confusion about their gender identity. When asked when or how they started to perceive themselves as ‘boys’, most participants referred to childhood friendships, toys, and sport activities that were considered ‘appropriate’ for their gender identity. Meanwhile, a few participants recalled their struggles to fit in with peer groups of their own gender. As children, even before realizing their sexual orientation, three participants who identify as gay, experienced bullying by male peers and preferred the safety of friendships with girls.

For example, Firman (pseudonym), who as an adult self-identified as queer, experienced a lot of bullying as a child. His peers would call him a sissy (banci/ bencong) and well-intended family members pressured him to change the way he walked and talked to become more like ‘a man’. It was not until high school, when he made the conscious decision to talk less and exclude himself from his peers, the bullying started to subside. The idea that boys and men need to play with certain toys, walk and talk a certain way at the cost of excluding those that do not fit in, is part of what forms our understanding of a toxic masculinity. It stops us from thinking of masculinity as plural, imposing on boys a narrow idea of how to become ‘men’.

During interviews, as reflections shifted from childhood to their teenage years, most participants associated masculinity with sports, Paskibra (youth organization that mimic military marching traditions during flag hoisting ceremonies), and tawuran (brawls or violent clashes between groups, mostly between different schools). In high school, Irfan identified three groups that were perceived to be what he called the “male among male”: the ‘brigade’ who were the authoritative muscle of the school’s student council, the ‘nature lovers’ (pecinta alam) that climbed mountains and sought adventures, and the ‘bad boys’ (cowok bandel) who challenged authority by skipping school, smoking, and getting into fights. While these three groups represented hegemonic masculinity, their performance of masculinity differed.

Irfan recalled one student who was part of the ‘bad boy’ group, bragging about getting a female student drunk and imposing sex on her while she was unconscious. It was only later, as an adult, that Irfan understood this to be rape. Irfan cannot know for certain that this incident really happened or whether this student was making up a story for bragging rights. However, it was clear in the way the student told his story as triumph, that sexual domination over girls was not only accepted, but also encouraged as a performance of masculinity. Interestingly, despite being considered ‘superior males’, this group of ‘bad boys’ were in turn mocked by a nearby vocational school that sent a bra to them for not getting involved in inter-school fights (tawuran). The domination of women, violence as performance of masculinity and the association of femininity (in this case through a bra as a female undergarment) with weakness are part and partial to toxic masculinity.

While this may seem like an extreme example, toxic masculinity may also appear in other, more nuanced, forms. During an interview, Neqy, founder of komunitas perEMPUan and activist, talked about an experience she had during a protest in Jakarta:

I was there with friends and colleagues who were raising awareness on violence against women; we formed one line consisting mostly of women. One moment, it started to become really crowded and the lines of protesters started to move forward. Suddenly a group of young men, university students, wearing their new varsity jackets, yelled, “Girls, get to the back of the line!” Me and my friends refused.

Neqy’s experience highlights how the masculine expectation to ‘protect’ women, often leads to women’s exclusion. The male students’ assumption that men are inherently more capable to handle potentially dangerous situations, such as during a protest, failed to consider people’s experiences. The division of roles based on gender, rather than merit, could have potentially put less experienced men at risk and undermine women’s abilities to take up active roles in public spaces.

The idea that men must protect women does not only lead to the potential subjugation of women, it can also harm men as they are expected to showcase strength and hide vulnerability. Jaka (pseudonym), for example, talked about past experiences with alcohol and drugs as mechanisms to suppress and cope with vulnerable emotions, such as sadness. Five of the male participants admitted that they rarely discussed issues related to their emotions or feelings with male friends.

As adults, our participants feel more secure in their gender identities and sexual orientations. However, they also discussed the pressure they feel to perform masculinity through successful careers and/ or marriages. Irfan, a single heterosexual man, admitted to contemplating more lucrative career paths when dating women he perceives to be more successful; Jaka, a married heterosexual man discussed the pressure he felt to live with his in-laws because they don’t think he and his wife are earning enough to live independently; while Surya, a homosexual single man, feels pressure to never fail in his career to compensate for the fact that in Indonesia he can never fulfill social expectations of starting a family. Teaching boys to be strong in order to be considered ‘men’, is often done at the cost of allowing space for vulnerability and empathy.

Moving Beyond Toxic Masculinity: Blurring Binary Lines and Embracing Plurality

In our interviews, toxic masculinity offered a useful point to open conversations to reflect on the reproduction of rigid masculine gender identities during different phases of our participants’ lives. It allowed participants to discuss their past and present struggles with societal expectations shaped around hegemonic masculinity. It was also useful to identify masculine traits that are toxic such as the suppression of emotions, tendency towards violent or self-destructive behavior, a resistance against vulnerability and empathy, and the subjugation of women and marginalized masculinities.

However, recognizing the potential harms of toxic masculinity does not fully answer the question we started with: what do we do with our boys?

Rio (pseudonym), a manager at a research institute, felt he was faced with a dilemma when asked what gender norms he planned to teach his young son. While recognizing the need to teach boys to acknowledge the privileges they enjoy in society because of their gender, he also said, “This is difficult. I wouldn’t want my son to lose when he is older. I want him to rule.” Despite recognizing the harms of toxic masculinity, the binary between boys and girls as if opposition to one another, the assumption that empathy and respect are potentially disempowering, and the notion that power is a limited resource that is fought for in a zero sum game, make it difficult to look beyond pre-existing gender relations.

Galih (pseudonym), who identifies as gay, faces a different dilemma. Galih admits to being suspicious and distrustful of men. He believes this is because he has witnessed firsthand various examples of toxic masculinity in the ways his mother was treated by his father, his sister was treated by her boyfriends, and having been assaulted by a man himself. This negative perception against men leads him to feel protective of the women in his life, while being dismissive of the feelings of other men. When prompted, he acknowledged that his neglect towards men’s feelings and the potential hurt he inflicts on male partners also reproduce toxic masculinity. The simplistic dichotomy that men are perpetrators of oppression and women are their victims, needs to be unpacked to acknowledge that gender relations, while indeed unequal, are also complex and nuanced.

As the two interview excerpts with Rio and Galih indicate, recognizing toxic masculine traits is not the same with unlearning them. Moving beyond toxic masculinity requires us to talk openly and personally about gender identities in more inclusive and fluid ways. This does not only demand a need to look inward into our own gendered experiences, it also requires us to look relationally to the ways our gendered expressions and expectations affect those around us: from our loved ones to members of our communities that we have often left neglected on the margins of society.


[1] We will use various ways to refer to our participants, depending on their individual preferences. Among the eleven participants (four women and seven men), six asked that we used pseudonyms, one preferred to be referred to using initials, one wished to not be named, and three consented to the use of their real names.