“Cowo Banget”: Memahami Makna Toxic Masculinity di Indonesia

Bagaimana kita membentuk seorang anak lelaki menjadi seorang pria?
Berefleksi dari pertanyaan ini, Mahardhika Sadjad dan Fajri Siregar membahas isu toxic masculinity di Indonesia. Mereka menemukan bahwa kemauan untuk memahami toxic masculinity menjadi pintu masuk untuk membahas ketidaksetaraan jender. Sayangnya, ini belum cukup untuk mengatasinya.
Ditulis oleh Mahardhika Sajad dengan bantuan pengumpulan data oleh Fajri Siregar.

Diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Syarafina Vidyadhana. Versi Bahasa Inggris dapat dibaca di sini

Kredit foto: Pixabay/Carlos Quintero

“Sewaktu kecil, teman-teman sekolah, guru, kemudian kakak-kakakku sendiri, misalkan kalau aku nangis karena suatu hal, pasti pada bilang, “Jangan nangis dong lo, kayak cewek aja. Jadi cowok nggak boleh nangis, nggak boleh lemah.” Laki-laki harus lebih kuat dari perempuan.”

(Jaka, pseudonim, kutipan wawancara)

Sewaktu saudara perempuan saya mengandung anak laki-lakinya, kami berdiskusi panjang soal apa-apa yang diperlukan untuk mengasuh seorang laki-laki. Kami sadar akan tuntutan masyarakat agar laki-laki kuat dan aktif, tapi kami ingin supaya ia juga tenggang hati, lembut, dan peka dengan orang lain dan kebutuhan sekitarnya. Kami tidak berdiskusi seperti ini saat keponakan perempuan saya lahir enam tahun silam. Mungkin karena dibesarkan dalam keluarga dengan tiga bersaudara perempuan, tak satupun saudara laki-laki, tanpa dibahaspun kami menyadari pentingnya mengajarkan perempuan supaya cerdas, mandiri, dan kuat terutama karena masyarakat kita seringkali memaksakan sebaliknya. Jika kita harus bekerja keras memberdayai anak-anak perempuan supaya kelak mereka dapat memenuhi potensinya; bagaimana sebaiknya kita membesarkan anak laki-laki? Mungkin kita dapat menemui jawabannya dengan mempertanyakan pemahaman dogmatis tentang maskulinitas, atau yang kerap kita kenal dengan istilah “toxic masculinity.”

Artikel ini disusun berdasarkan wawancara informal semi-terstruktur dengan empat perempuan Indonesia dan tujuh laki-laki Indonesia. Fajri dan saya mengawalinya dengan menghubungi empat perempuan Indonesia yang mengenali dirinya sebagai feminis, aktivis, dan/ atau peneliti yang paham kajian-kajian feminis dan gender. Mereka membantu mengukuhkan pemahaman kami mengenai konsep-konsep utama yang relevan dalam menelusuri toxic masculinity. Selanjutnya kami mewawancarai tujuh laki-laki, dengan rentang usia 25–35 tahun, tentang pengalaman mereka “menjadi laki-laki” di Indonesia, bagaimana hal tersebut dibentuk dan dipengaruhi oleh hubungan-hubungan mereka dengan perempuan dan laki-laki lain, dan pergumulan mereka menapaki berbagai fase hidup seperti pubertas dan keayahan.

Dari keseluruhan peserta laki-laki, tiga di antaranya mengenali dirinya sebagai laki-laki heteroseksual, tiga lainnya sebagai laki-laki homoseksual, dan satu sebagai queer. Meski ketujuh peserta wawancara memiliki latar belakang etnis dan agama berbeda-beda, semua setidaknya lulusan sarjana. Sebagian besar peserta tinggal atau pernah tinggal di kota-kota besar di Indonesia, terutama Jakarta, dan pada umumnya pernah atau sedang tinggal di luar negeri. Mereka memiliki tingkat pemahaman yang beragam akan perdebatan seputar gender dan seksualitas, meski hanya empat peserta yang sebelumnya akrab dengan istilah “toxic masculinity”.

Kami mengakui bahwa peserta riset[1] kami tidak representatif terhadap masyarakat Indonesia secara luas; oleh karena itu, ini bukan sebuah upaya untuk menyatakan klaim-klaim apapun yang dapat mengeneralisir toxic masculinity di Indonesia. Alih-alih, artikel ini menawarkan wawasan tentang bentuk-bentuk toxic masculinity yang ada pada konteks Indonesia; wawasan yang, kami harap, dapat berkontribusi pada renungan dan keterlibatan pembaca dalam diskusi-diskusi terkait relasi dan ketimpangan gender.

Patriarki, Maskulinitas Hegemonik, dan Maskulinitas Beracun

Istilah “toxic masculinity” semakin umum dijumpai dalam obrolan soal gender, terutama tapi tak terbatas pada media Barat (contohnya Putri 2015; Salam 2019; Salter 2019). Istilah ini sering kali digunakan untuk menggambarkan bagaimana perilaku dan nilai maskulin ideal, seperti keteguhan, pemendaman emosi, dan kecenderungan terhadap kekerasan, berdampak korosif bagi laki-laki dan perempuan. Akan tetapi, toxic masculinity sering kali disalahpahami sebagai kritik terhadap maskulinitas dan laki-laki secara umum. Banyak orang memandang istilah tersebut sebagai dogma generalisasi bahwa semua maskulinitas pasti beracun dan, oleh karena itu, semua laki-laki pasti beracun. Di sini kami ingin menekankan: Itu bukan yang kami maksud dengan toxic masculinity.

Kita perlu berangkat dari premis mendasar bahwa maskulinitas bersifat plural. Maskulinitas tidak merujuk pada laki-laki belaka, meski masyarakat terbiasa mengaitkan perilaku dan nilai maskulin dengan laki-laki. Ada banyak cara untuk mengekspresikan maskulinitas. Tetapi, terdapat konstruksi dan gagasan dominan yang membentuk bagaimana masyarakat mengajarkan anak laki-laki supaya menjadi “pria sejati.” Konstruksi dominan tersebut lebih dikenal dengan sebutan “maskulinitas hegemonik.” Connell (2014:8) menerangkan:

Maskulinitas hegemonik artinya pola maskulinitas yang paling dimuliakan, yang menduduki posisi sentral dalam sebuah struktur relasi gender dan keistimewaan dari posisinya tersebut membantu menciptakan ketertiban gender secara keseluruhan, terutama subordinasi para perempuan.

Maskulinitas hegemonik mereproduksi struktur-struktur rumit yang terdiri atas berbagai relasi gender dalam suatu sistem patriarki; sistem yang menempatkan para perempuan dan kelompok marjinal lain yang tidak mengikuti konstruksi gender dominan pada posisi yang merugi. Oleh karena itu, maskulinitas juga bersifat relasional , sebab ia tidak dipahami dalam ruang hampa. Ini dijelaskan oleh salah seorang peserta wawancara, kandidat doctoral yang menekuni bisang studi decolonial:

Terdapat berbagai tipe maskulinitas, sebab ia bersifat plural. Maskulinitas hegemonik mengajarkan laki-laki untuk mendominasi… Laki-laki harus kuat, jadi pemimpin jantan yang perlu menundukkan perempuan-perempuan dalam hidup mereka, laki-laki adalah makhluk rasional, mereka tidak dapat mengungkapkan perasaan-perasaan yang dianggap lemah, seperti kesedihan. Hal ini merenggut kesempatan mereka untuk menjadi manusia seutuhnya yang memiliki berbagai macam emosi. Tipe maskulinitas hegemonik ini beracun bagi laki-laki maupun perempuan,  hubungan antar keduanya, dan hubungan antar sesama laki-laki dan sesama perempuan.

Maskulinitas hegemonik tak hanya diletakkan sebagai lawan feminitas, tetapi juga lawan bentuk-bentuk maskulinitas lain yang termarjinalkan di dalam masyarakat (Connell, Ibid.). Penting untuk menekankan bahwa istilah toxic masculinity tidak bermaksud mengejikan laki-laki dan konstruksi-konstruksi maskulin. Sebaliknya, ia bertujuan menyorot perilaku-perilaku atau nilai-nilai maskulin yang menindas para perempuan dan laki-laki yang gagal memenuhi citra “ideal” yang ditetapkan masyarakat patriarki.

Pengalaman dengan Toxic Masculinity dalam Konteks Indonesia

“Keluargaku tuh nyuruh aku kalau jalan harus seperti laki-laki. Suara harus jadi lebih tegas.”

(Firman, pseudonim, kutipan wawancara)

Ketika diminta berpendapat mengenai toxic masculinity, kesebelas peserta menggunakan kata-kata serupa untuk menggambarkan sifat-sifat yang mereka rasa masuk ke dalam kategori toxic masculinity, misalnya “dominasi,” “kekuatan,” “kuasa,” dan “kekerasan.” Sebagian besar mengaitkan sifat-sifat ini dengan penindasan dan objektifikasi perempuan, menyebut subordinasi peran perempuan dalam rumah tangga atau normalisasi gurauan seksis sebagai contoh. Seiring berkembangnya pembicaraan kami, para peserta laki-laki diminta merenungkan pengalaman pribadi mereka saat tumbuh dewasa, dan ketujuh peserta mengenali keterbatasan  serta pergulatan mereka dalam memenuhi ekspektasi masyarakat akan sifat-sifat maskulin yang “ideal.”

Kisah-kisah mereka melukiskan bagaimana ekspektasi-ekspektasi tersebut memengaruhi kepercayaan diri mereka, membatasi atau setidaknya membentuk pilihan-pilihan mereka; bagi sebagian orang, hal ini juga berkontribusi pada perasaan dikucilkan dan kekalutan akan identitas seksual mereka. Saat ditanya kapan atau bagaimana mereka mulai memandang diri sebagai “cowok,” sebagian besar peserta merujuk ke perkawanan di masa kanak-kanan, mainan, dan berbagai kegiatan olahraga yang dianggap “pantas” untuk identitas gender mereka. Sementara itu, segelintir peserta menceritakan kesulitan mereka berbaur dengan kelompok sesama gender seumurannya. Saat masih anak-anak, bahkan sebelum menyadari orientasi seksual mereka, tiga peserta yang mengenali diri sebagai gay mengalami perisakan oleh laki-laki sebaya dan merasa lebih aman berkawan dengan perempuan.

Contohnya, Firman (pseudonim), yang semenjak dewasa mengenali diri sebagai queer, sering mengalami perisakan saat masih kecil. Anak-anak seumurannya sering mengejeknya dengan sebutan banci atau bencong, dan anggota keluarga yang “niatnya baik” mendesak supaya ia mengubah gayanya berjalan dan berbicara menjadi lebih “laki.” Baru di SMA, saat  ia secara sadar memutuskan untuk lebih banyak diam dan menarik diri dari pergaulan, perisakan itu mulai mereda. Gagasan bahwa anak laki-laki dan laki-laki dewasa hanya boleh bermain dengan mainan tertentu, berjalan dan berbicara dengan gaya tertentu dengan risiko dikucilkan jika tidak menyesuaikan diri, adalah bagian dari hal-hal yang membentuk pemahaman kita tentang toxic masculinity. Gagasan dan perulaku seperti ini mencegah kita memandang maskulinitas sebagai hal yang plural, memaksakan pandangan sempit tentang cara menjadi laki-laki “sejati.”

Sepanjang wawancara, seiring kelanjutan kisah-kisah mereka dari masa kanak-kanak ke masa remaja, sebagian besar peserta mengaitkan maskulinitas dengan olahraga, Paskibra, dan tawuran antar sekolah. Saat SMA, Irfan mengenali tiga kelompok yang dipandang paling “laki”:  “brigade,” yang merupakan otot otoritatif OSIS; “pencinta alam” yang gemar mendaki gunung dan mencari petualangan; dan “cowok bandel” yang menentang otoritas dengan bolos sekolah, merokok, dan berkelahi. Meski ketiga kelompok ini merepresentasikan maskulinitas hegemonik,  masing-masing kelompok mengekspresikan maskulinitasnya dengan cara yang berbeda.

Irfan bercerita, kala itu salah seorang siswa “cowok bandel” di sekolahnya  memamerkan bahwa ia berhasil membuat mabuk seorang siswi dan berhubungan seks saat siswi tersebut dalam keadaan tidak sadar. Kelak, saat Irfan dewasa, barulah ia menyadari bahwa kejadian tersebut merupakan pemerkosaan. Tapi Irfan tak tahu pasti apakah insiden tersebut benar-benar terjadi atau bualan belaka. Apapun itu, yang jelas sang siswa menceritakannya dengan gaya penuh kemenangan, tanda bahwa dominasi atas perempuan tidak hanya dipandang wajar, tapi juga didukung sebagai ungkapan maskulinitas. Menariknya, meski dianggap “cowok banget” di kalangan sekolah sendiri, kelompok “cowok bandel” ini masih “kalah bandel” dari siswa-siswa STM; olehnya,  mereka dilempari beha sebagai ejekan karena enggan terlibat tawuran antar sekolah. Dominasi atas perempuan, kekerasan sebagai ajang unjuk maskulinitas, dan pengaitan feminitas dengan sifat lemah (dalam hal ini ditunjukkan dengan beha, yang merupakan pakaian dalam perempuan) adalah hal-hal yang semakin menguatkan toxic masculinity.

Meski cerita di atas terdengar seperti contoh yang ekstrem, toxic masculinity juga ditampilkan melalui bentuk-bentuk lain yang lebih bernuansa. Neqy, penggagas Komunitas perEMPUan dan aktivis, membahas pengalamannya pada suatu unjuk rasa di Jakarta.

Bersama teman-teman yang mengangkat isu kekerasan terhadap perempuan, kami membentuk satu barisan, kebanyakan perempuan. Tiba-tiba ada mahasiswa-mahasiswa nih, cowok-cowok, mahasiswa yang jaketnya masih pada mulus, mereka berteriak, “Yang cewek mundur!”. Gue dan teman-teman bilang, “Nggak, kami di sini. Kami sudah biasa demo dan baik-baik aja”.

Pengalaman Neqy menyingkap bagaimana ekspektasi maskulin untuk “melindungi” perempuan sering kali justru berujung mengucilkan perempuan. Asumsi para mahasiswa bahwa laki-laki secara inheren lebih mampu mengatasi situasi-situasi yang kemungkinan berbahaya, seperti pada unjuk rasa, gagal mempertimbangkan pengalaman-pengalaman orang lain. Pemisahan peran berbasis gender, alih-alih kemampuan, berpotensi membahayakan laki-laki yang kurang berpengalaman dan meremehkan kemampuan perempuan untuk berperan aktif di ruang publik.

Gagasan bahwa laki-laki harus melindungi perempuan tidak hanya mungkin berujung pada penindasan perempuan, ia pun bisa merugikan laki-laki karena mereka senantiasa dituntut untuk menunjukkan kekuatan dan menyembunyikan kerentanan. Jaka (pseudonim), misalnya, berbagi soal pengalamannya di masa lalu menggunakan alkohol dan napza sebagai mekanisme meredam perasaan-perasaan seperti kesedihan. Lima peserta laki-laki mengaku jarang mendiskusikan isu-isu terkait perasaan atau emosinya dengan kawan lelaki.

Setelah dewasa, para peserta merasa lebih nyaman dengan identitas gender dan orientasi seksual masing-masing. Meski demikian, mereka tetap merasakan tekanan dari masyarakat; kali ini  untuk menampilkan maskulinitas lewat karir dan/atau pernikahan yang sukses. Irfan, laki-laki heteroseksual lajang, mengaku beberapa kali mempertimbangkan karir alternative yang lebih lukratif saat mengencani perempuan yang ia pandang lebih sukses; Jaka, laki-laki heteroseksual yang sudah menikah, menceritakan tekanan yang ia rasakan saat masih tinggal bersama mertua, karena mereka menganggap ia dan istrinya belum cukup mapan untuk bisa hidup mandiri; sementara itu, Surya, laki-laki homoseksual lajang, merasakan tekanan besar untuk tidak pernah gagal berkarir sebagai upaya menebus “ketidakmampuannya” memenuhi harapan masyarakat untuk berkeluarga, khususnya di konteks Indonesia. Mengajarkan anak laki-laki supaya kuat agar kemudian dipandang “jantan” sering kali mengorbankan ruang untuk berempati dan mengungkapkan kerentanannya.

Melampaui Maskulinitas Beracun: Mengaburkan Batas-Batas Biner dan Merengkuh Pluralitas

Dalam wawancara kami, toxic masculinity menawarkan titik awal yang bermanfaat untuk membuka pembicaraan, untuk merenungkan reproduksi identitas gender maskulin yang kaku pada berbagai fase kehidupan peserta. Ia mengizinkan peserta mendiskusikan pergumulan mereka, baik di masa lalu maupun sekarang dengan harapan masyarakat yang dibentuk maskulinitas hegemonik. Ia juga membantu mengidentifikasi sifat-sifat maskulin yang merugikan seperti pemendaman emosi, tendensi terhadap kekerasan atau perilaku merusak diri, perlawanan terhadap kerentanan dan empati, serta penindasan terhadap perempuan dan maskulinitas-maskulinitas termarjinalkan.

Akan tetapi, mengenali potensi bahaya toxic masculinity tidak sepenuhnya menjawab pertanyaan awal kami: bagaimana sebaiknya kita membesarkan anak laki-laki?

Rio (pseudonim), manajer di sebuah lembaga riset, merasakan dilema saat ditanya norma-norma gender apa yang akan ia ajarkan kepada anak laki-lakinya. Rio mengenali kebutuhan mengajarkan anak laki-laki untuk menghormati dan berempati dengan perempuan serta mengakui perlakuan istimewa yang dapat ia nikmati dalam kehidupan bermasyarakat berkat gendernya. Namun, ia juga berujar, “Melepaskan priveleges… Agak susah ya. Kan gue tidak ingin anak gue nanti kesulitan. Gimana ya, gue nggak ingin anak gue kalah [bersaing] kalau sudah gede, gue ingin dia berkuasa.” Meski mengenali bahaya toxic masculinity, konstruksi biner antara laki-laki dan perempuan sebagai berlawanan, asumsi bahwa empati dan respek berpotensi melemahkan, dan pandangan bahwa kuasa adalah sumber daya terbatas yang diperebutkan dalam zero-sum game; semua hal ini menghalangi kita memandang lebih luas, melampaui relasi-relasi gender yang telah ada.

Galih (pseudonim), yang mengenali dirinya sebagai laki-laki homoseksual, menghadapi dilema yang berbeda. Galih mengaku selalu curiga dan sulit percaya dengan laki-laki. Menurut dia, ini disebabkan pengalaman menyaksikan langsung contoh-contoh toxic masculinity dari cara ibunya diperlakukan oleh ayahnya, kakak perempuannya diperlakukan buruk oleh pacar laki-laki, dan juga pengalaman Galih sendiri yang mengalami kekerasan seksual di tangan seorang pria. Persepsi negatif terhadap laki-laki membuatnya merasa protektif atas para perempuan dalam hidupnya, dan menyampingkan perasaan-perasaan laki-laki lain. Saat ditanya lebih lanjut, ia mengakui bahwa pengabaiannya terhadap perasaan laki-laki dan luka yang mungkin ia timbulkan pada pasangan laki-lakinya turut mereproduksi toxic masculinity. Dikotomi simplistis bahwa laki-laki adalah pelaku penindasan dan perempuan adalah korbannya, perlu dibongkar demi mengakui bahwa relasi gender, meski memang tidak setara, juga kompleks dan bernuansa.

Sebagaimana ditunjukkan nukilan wawancara bersama Rio dan Galih, mengenali sifat-sifat toxic masculinity tidak sama dengan mengatasinya. Bergerak melampaui toxic masculinity memerlukan pembicaraan terbuka dan pribadi mengenai identitas gender dengan cara yang lebih inklusif dan cair. Ia tak hanya menuntut supaya kita menyelisik ke dalam pengalaman gender masing-masing, tetapi juga mewajibkan kita memandang secara relasional (dalam kaitannya dengan pihak lain) bagaimana ekspresi dan ekspektasi gender kita memengaruhi lingkungan sekitar: dari orang-orang terkasih sampai anggota masyarakat terpinggirkan yang sering kita abaikan.


[1] Kami akan menggunakan cara yang berbeda-beda saat mengutip atau mengacu kepada peserta kami, tergantung pilihan masing-masing peserta. Dari sebelas peserta (empat perempuan dan tujuh laki-laki), enam di antaranya meminta kami menggunakan pseudonim, satu orang memilih disebut dengan inisial, satu orang meminta tidak disebut namanya, dan tiga orang menyetujui penyebutan nama asli mereka.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *