Makna Kemerdekaan adalah Melawan Penindasan Setiap Hari: Beberapa Refleksi Dekolonial

Wawancara oleh Mahardhika (M) Sjamsoeoed Sadjad

Versi Bahasa Inggris dapat dibaca di sini. Diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Mitrardi Sangkoyo

Foto: Achmad Sulfikar

Saya bertemu Tamara (T) Soukotta, seorang peneliti doktoral di Institut Internasional Ilmu Sosial (International Institute of Social Studies) dan dosen Program Sarjana Studi Internasional di Universitas Leiden. Penelitiannya mencakup pilihan-pilihan yang mengakar pada pengalaman konflik di Maluku (1999–2004), serta pengalaman hidup sebagai pekerja dan perempuan kulit berwarna di Belanda. Menjelang 17 Agustus 2020, kami berdiskusi mengenai makna Hari Kemerdekaan Indonesia melalui lensa dekolonial.

M: Bagaimana Anda menjelaskan dekolonialitas kepada seseorang yang merasa asing dengan istilah tersebut?

T: Saya pikir penting untuk memulai dengan membedakan tiga istilah yang sering dicampuradukkan satu sama lain: dekolonisasi, poskolonial, dan dekolonialitas.

Dekolonisasi adalah proses penjajah-penjajah Eropa meninggalkan daerah jajahan, yang mengakibatkan bangsa-bangsa di wilayah bekas jajahan mendeklarasikan kemerdekaannya dan diakui sebagai negara-negara yang berdaulat. Di Indonesia, proses ini dirayakan pada 17 Agustus 1945, ketika bapak-bapak pendiri bangsa kita secara sepihak mendeklarasikan kemerdekaan Indonesia. Ini disusul perang empat tahun melawan Belanda, yang akhirnya setuju mengalihkan sebagian besar kedaulatan teritorinya di Hindia Timur pada tahun 1949, serta bagiannya di Papua Nugini (sekarang Papua) pada tahun 1963, kepada pemerintah Indonesia.

Teori poskolonial berargumen bahwa setelah dekolonisasi, struktur-struktur kekuasaan kolonial direproduksi oleh kelompok-kelompok elite baru yang menempati posisi kekuasaan setelah pembentukan negara-bangsa baru. Dengan demikian, struktur-struktur kekuasaan kolonial terus langgeng hingga sekarang. Dalam studi pembangunan, logika tersebut sering digunakan untuk memahami ketidakadilan sistematis yang ada di seluruh dunia.

Dekolonialitas membawa logika penindasan ini lebih jauh dalam hubungannya dengan modernitas, lebih spesifik lagi, suatu narasi tunggal tentang menjadi ‘modern’ yang didefinisikan oleh imaji-imaji Barat. Walter Mignolo[1] mengusulkan dekolonialitas sebagai logika yang memutus hubungan dari kolonialitas dengan menempatkan diri sebagai subjek-subjek yang terpisah dari narasi tunggal tersebut. Ini tidak berarti semua cara berpikir atau epistemologi Barat salah dan harus disingkirkan, melainkan harus “dikecilkan ukurannya”. Alih-alih menggunakan pengetahuan Barat sebagai satu-satunya cara untuk mengetahui, dekolonialitas berargumen bahwa ada cara-cara pengetahuan lain yang sama validnya. Dalam hal ini, tradisi-tradisi Barat harus “disesuaikan ukurannya”, yakni setara dengan tradisi lain dan bukan sebagai kebenaran universal.

Bagi saya sebagai peneliti, berurusan dengan opsi  dekolonial dimulai saat saya menyadari bahwa saya adalah subjek kolonial. Saya dididik dan dilatih dalam tradisi Barat. Jadi, agar dapat mencapai opsi dekolonial, saya perlu terlebih dahulu membongkar (unlearn) kepercayaan yang diajari kepada saya tentang “metode saintifik yang benar” serta batasan mengenai apa yang dapat dianggap sebagai pengetahuan. Saya melakukan ini sebagai suatu keharusan, sebagai seseorang yang berasal dari Maluku dan secara personal mengalami satu dekade konflik dari akhir 1990-an hingga awal 2000-an, serta harus menghadapi penjelasan mengenai konflik tersebut yang tidak masuk akal menurut pengalaman saya. Maka, opsi-opsi dekolonial memberikan perangkat metodologis serta ruang ontologis-epistemologis yang saya butuhkan untuk melanjutkan penelitian saya.

M: Apa makna 17 Agustus bagi Anda, berdasarkan perspektif-perspektif dekolonial?

T: Dekolonialitas harusnya dimulai dari mempertanyakan kemerdekaan dan makna sesungguhnya. Saat saya menulis draf seminar disertasi, penguji eksternal saya, Robbie Shilliam[2], mengatakan saat merespons presentasi saya: “Kemerdekaan adalah kemenangan kolonialisme”. Saya membutuhkan sedikit waktu untuk merenungi pernyataannya. Saya kira ada dua cara untuk memahaminya.

Pertama, pembentukan negara-bangsa merupakan produk kolonial. Keseluruhan struktur negara-bangsa berasal dari Barat. Maka, kendati penjajah Barat sudah pergi melalui proses-proses dekolonisasi, ide-ide yang mengabsahkan berbagai bentuk penindasan terus berlanjut. Logika kolonialitas, melalui relasi-relasi kekuasaan, struktur-struktur pengetahuan, gender, dan lain-lain, merupakan variasi bentuk dari kolonialisme, yang tidak ikut pergi bersama para penjajah saat mereka meninggalkan wilayah jajahan secara fisik. Bentuk-bentuk ini menubuh dalam struktur-struktur pemerintahan yang diambil alih oleh kelompok-kelompok elite yang membentuk negara-bangsa.

Contohnya, bapak-bapak pendiri bangsa yang menjadi bagian dari Kongres Pemuda pada tahun 1928, mereka (hampir) semuanya adalah laki-laki dan perempuan yang dididik oleh Belanda. Betul, mereka semua menentang kekuasaan kolonial, tetapi ide mereka tentang kemerdekaan terbatas pada mengusir penjajah Belanda, dan tidak pada keharusan untuk menyingkirkan ide-ide kolonialitas dan logika-logika penindasan yang ada. Penyatuan Indonesia di bawah tanah air, bangsa, dan bahasa yang tunggal memang menanam bibit perlawanan terhadap penjajah Belanda, tetapi secara bersamaan juga menghapuskan berbagai pengalaman penjajahan yang majemuk di seluruh kepulauan dalam narasi bernegara.

Kedua, kemerdekaan negara-bangsa yang baru terletak di dalam diskursus kolonial. Dekolonisasi memberi penjajah Barat suatu tonggak sejarah agar mereka dapat mencuci tangan dari konsekuensi-konsekuensi jangka panjang imperialisme, dan mengalihkan tanggung jawab tersebut kepada negara-bangsa yang baru saja merdeka. Maka, apabila pemerintah Indonesia bersalah melakukan tindakan-tindakan penindasan dan kekerasan pascakemerdekaan, yang menjadi orang-orang ‘jahat’ adalah orang Indonesia, dan bukan para penjajah. Mereka [mantan penjajah] dapat mengatakan, “Ini masalah‘mu’, bukan masalah ‘kita’”. Para penjajah tidak bertanggung jawab atas segala sesuatu yang terjadi pascakemerdekaan, walaupun sebagian besar dari konflik-konflik tersebut berakar dari proses-proses menyejarah yang dimulai jauh sebelumnya dan sentimen-sentimen yang dipanen dari antara kelompok-kelompok berbeda melalui strategi adu domba (divide and conquer). Maka logika kolonial dan penindasan terus langgeng, tapi kali ini “Anda” lah yang biang keroknya.

M: Apa saja contoh pengalaman lain yang kita butuh akui sebagai bagian penting dari kemerdekaan dan pembentukan bangsa kita?

T: Kita perlu ingat bahwa kita memiliki pengalaman-pengalaman penjajahan yang berbeda di berbagai wilayah Indonesia. Beberapa bagian Indonesia mungkin hanya dijajah oleh otoritas Belanda selama sekitar lima puluh tahun. Maluku, sebaliknya, mengalami salah satu masa penjajahan terlama di Indonesia. Ide mengenai “kepulauan rempah” yang memulai keseluruhan misi Columbus untuk menemukan Amerika merujuk kepada Moluccas atau Kepulauan Maluku. Sejak abad ke-16, kepulauan rempah ini didatangi berbagai bangsa Eropa, mulai dari penjajah Spanyol, Portugis, Inggris, hingga Belanda.

Di masa penjajahan, khususnya saat politik adu domba, salah satu cara memastikan kepatuhan Maluku adalah melalui perpindahan agama. Bagi orang Belanda, mereka yang pindah agama dianggap tangan kanan lokal. Dengan demikian, orang Kristen memiliki posisi istimewa di dalam sistem kolonial Belanda. Orang Belanda menggunakan prajurit Maluku untuk menaklukkan wilayah-wilayah Indonesia lain, sehingga orang Maluku dicap sebagai “Belanda hitam” atau lebih buruk lagi, “anjing-anjing Belanda”. Hal ini menciptakan stereotip yang berakar pada rasisme. Stereotip rasis bahwa orang hitam yang berambut ikal dan berasal dari Timur merupakan manusia tidak beradab dilanggengkan melalui anggapan bahwa orang Maluku adalah simpatisan dan pendukung Belanda. Dengan demikian, terdapat bentuk diskriminasi ganda pascakemerdekaan. Kemudian, pada tahun 1950-an saat terjadi upaya pembentukan Republik Maluku Selatan, stigma-stigma tersebut bertambah kuat.

Sebagai minoritas, seseorang yang berasal dari Indonesian bagian Timur, dan Kristen pula—semua stereotip tersebut membuat semacam kerangkeng. Anda hampir selalu dikriminalisasi, eksistensimu didefinisikan lebih dulu oleh kerangkeng itu. Saya ingat ketika keluar dari Maluku, di mana pendidikan dan latar belakang sosial-ekonomi yang saya punya memberikan beberapa privelese, ke Jakarta, di mana privelese-privelese itu hilang, dan saya harus menghadapi berbagai ide yang tertanam dalam benak orang di Jawa, atas kami yang datang dari Timur.

Narasi tentang kemerdekaan Indonesia tidak boleh terus meminggirkan pengalaman-pengalaman berbeda lainnya. Ketika Anda bicara tentang Maluku, Anda bicara tentang sekelompok orang yang hidup melalui pengalaman penjajahan traumatis selama ratusan tahun. Di bawah penjajahan Belanda, satu-satunya cara bertahan hidup setelah seluruh tanah dan aset Anda dibakar adalah dengan bekerja sebagai prajurit Belanda. Kemudian, setelah kemerdekaan, di bawah sistem Indonesia, terutama setelah RMS dihancurkan, kemudian sebagai minoritas, satu-satunya pilihan bertahan adalah menjadi pendukung NKRI yang setia, karena begitu Anda mengkritisinya, saat itulah Anda berisiko dihancurkan kembali.

Saat Anda, sebagai sekelompok orang, dipandang sebagai pengkhianat, Anda memiliki beban untuk terus-terusan membuktikan dan menampilkan kesetiaan. Contohnya, apabila Anda lihat gerakan-gerakan sosial di Maluku, sangat sulit melakukan protes akibat trauma-trauma ini, ratusan tahun penjajahan ini. Dengan memahami sejarah dan konteks tersebut, Anda dapat mengerti mengapa orang Maluku sangat patriotis dalam merayakan 17 Agustus. Maka, kemerdekaan Indonesia merupakan cerita kompleks tentang kemenangan dan kekalahan. Ia butuh dipahami dan dirayakan seperti itu.

M: Ada beberapa pengkritik yang mungkin saja mengatakan bahwa dekolonialitas menantang NKRI. Bagaimana tanggapan Anda mengenai hal tersebut?

T: Opsi-opsi dekolonial sangat penting bagi narasi tunggal apapun, termasuk narasi tunggal tentang ide negara-bangsa. Dalam hal ini, kita dapat katakan bahwa dekolonialitas kritis terhadap NKRI karena NKRI didasari atas gagasan “negara kesatuan”, yang merayakan persatuan dalam keragaman. Tampak sebagai ide yang optimis: kendati kita berbeda, kita satu. Kenyataannya, keragaman ditolerir selama Anda meletakkannya di dalam kerangka tunggal NKRI. Anda tidak dapat berada di luar kerangka bersama ini, karena jika Anda melakukannya atau bahkan menyarankannya, Anda akan dicap sebagai pengkhianat dan dipaksa mengucapkan “NKRI harga mati”—NKRI, atau mati. Dalam hal ini, NKRI menguatkan keseragaman.

Opsi-opsi dekolonial menyerukan sebaliknya: mengakui perspektif-perspektif yang berbeda dan menyediakan opsi untuk delinking (memutus) hubungan dari kerangka tunggal tersebut. Setelah kemerdekaan, proyek nasional untuk menguatkan NKRI telah membutakan kita dalam melihat berbagai bentuk dan struktur pemerintahan yang ada di seluruh kepulauan. Harusnya, apabila kita benar-benar independen—menjadi merdeka—kita dapat memiliki pilihan tentang apa yang ingin kita lakukan selagi kita melangkah maju. Alih-alih demikian, kita justru menduplikasi pendekatan-pendekatan yang digunakan penjajah dalam membentuk negara-bangsa mereka, sistem-sistem parlementer dan hukum—sehingga melanggengkan gagasan bahwa hanya ada satu cara memerintah, satu cara menuju peradaban, satu cara menuju modernisasi.

Sebagai contoh, narasi yang paling sering digunakan untuk membenarkan penindasan di Papua Barat adalah bahwa kita harus menyelamatkan mereka dari penghancuran diri mereka sendiri.[3] Ini adalah alasan yang juga digunakan Belanda ketika menjajah Indonesia. Kita menganggap bahwa mereka tidak mampu mengatur dirinya sendiri, sehingga kita merasa berhak ikut campur dan membantu mereka dalam mengatur dirinya dan dalam mengadabkan dirinya. Itu karena kita melihat bahwa kita, entah bagaimana, lebih baik dari mereka. Setelah kemerdekaan, terdapat transformasi untuk men-Jawa-kan seluruh bangsa. Contohnya melalui penerapan “pemerintahan desa” di mana-mana. Kita di Maluku tidak pernah memiliki struktur desa. Yang kita milki adalah negeri independen dengan rajanya masing-masing. Dalam pembentukan negara-bangsa, Anda menerapkan struktur seragam dari Sabang sampai Merauke. Semuanya harus mengikuti struktur desa, kecamatan, kabupaten, dan sebagainya—tidak ada satu pun dari hal-hal tersebut yang asli Maluku.

Membeberkan eksklusi soal cara hidup yang berbeda seringkali justru menimbulkan kontroversi yang penuh emosi. Orang menganggap bahwa dengan demikian kita mendukung pemecahbelahan NKRI. Perdebatan mengenai gerakan-gerakan kemerdekaan di dalam Indonesia itu penting, tetapi kita perlu ingat bahwa dekolonisasi—dalam hal ini penjajah yang meninggalkan daerah jajahannya—dengan sendirinya tidak pernah membalik struktur-struktur penindasan kolonial. Kita perlu membayangkan respons yang lebih beragam dan plural terhadap percakapan-percakapan yang sulit semacam ini. Tidak ada jawaban tunggal. Barangkali jawabannya terletak di luar NKRI, tapi mungkin juga di dalam. Hal tersebut bergantung pada suara siapa yang didengar dan dipercaya dalam Republik ini. Selain itu, dekolonialitas adalah soal mengamplifikasi suara-suara yang selama ini paling tidak dihiraukan, disepelekan, bahkan ditindas, hanya karena mereka tidak bisa terkatup rapi di dalam bingkai yang tunggal.

Saya tidak mengusulkan agar kita membalik sejarah. Menurut saya, kita perlu mengakui bahwa NKRI tidak harus menjadi satu-satunya cara hidup. Dan mungkin, dengan mengakui hal tersebut, kita dapat menemukan cara-cara lain untuk hidup dan hidup bersama yang sama validnya. Ini bukan satu-satunya cara, maupun cara terbaik untuk hidup. Indonesia merupakan negara-bangsa yang dibentuk dari penyatuan. Ia tidak ada sebelum penjajahan. Maka, semua wilayah lebih kecil yang ada sebelum penjajahan, mengapa kita bahkan melarang mereka atas opsi untuk membayangkan diri mereka sendiri seperti sediakala, atau bahkan melampauinya? Kini hampir mustahil untuk bahkan membayangkan bahwa eksistensi semacam itu, ataupun bentuk eksistensi lain, dapat terwujud.

M: Jadi, bagaimana harusnya kita merayakan pengorbanan dan perjuangan yang “bapak-bapak pendiri bangsa” curahkan ke dalam kemerdekaan kita?

T: Saya tidak menyangkal bahwa kemerdekaan merupakan kemenangan yang diraih secara berdarah-darah bagi Indonesia. Ketika Anda ditaklukkan, Anda ingin membebaskan diri. Ketika kita berada di bawah jajahan kolonial, membebaskan diri sendiri sama dengan mengusir Belanda, karena Anda ingin mengusir orang-orang yang menindasmu. Yang saya tekankan adalah: pentingnya apa yang terjadi setelah kemerdekaan.

Dengan merayakan ‘Hari Kemerdekaan’, kita tidak boleh melihatnya sebagai ‘akhir’—seakan-akan 17 Agustus memberi akhir dari penjajahan dan segala sesuatunya seketika menjadi tuntas, menjadi baik. Berjuang demi kemerdekaan berarti berjuang deminya setiap hari. Perlu dicatat bahwa, dari perspektif dekolonial, ini tidak sama dengan seruan Orde Baru untuk mengisi kemerdekaan dengan ‘pembangunan’. Seruan pembangunan yang bersifat dari-atas-ke-bawah didasari atas gagasan tunggal tentang pembangunan sebagai modernisasi dan industrialisasi. Sebaliknya, berjuang demi kemerdekaan dari perspektif dekolonial harus menjadi proses yang nonpreskriptif, majemuk, dan menapak secara lokal. Amatilah masyarakat kita setiap hari, dan temukan bentuk-bentuk penindasan yang masih langgeng, belajar memahami akar-akarnya, dan kemudian lihat apa saja yang mampu kita lakukan untuk membalik logika yang melanggengkan marginalisasi dan penaklukan terhadap berbagai kelompok yang berbeda.

Setelah kita berhasil mengusir Belanda, sebenarnya kita hanya terus-terusan menjajah diri kita sendiri lewat cara-cara yang berbeda. Konstitusi kita mendeklarasikan bahwa “penjajahan di atas dunia harus dihapuskan”, tetapi para elite merebut kekuasaan dan mereproduksi penjajahan. Kita tidak mempertanyakan apa pun dan kita terima saja bentuk pemerintahan yang baru ini. ‘Bapak-bapak pendiri bangsa’ kita berjuang dan gugur demi kemerdekaan, tetapi kita perlu ingat bahwa ini adalah perjuangan yang masih terjadi setiap hari. Berjuang demi kemerdekaan tidak terbatas pada perjuangan orang-orang dan provinsi yang menuntutnya. Lihat juga kelompok-kelompok termarjinalkan lain di masyarakat: buruh, masyarakat adat, perempuan—bentuk penindasan apa pun yang kita saksiksan sehari-hari. Kita perlu merayakan mereka yang sudah mengorbankan diri mereka dengan mengingat bahwa makna kemerdekaan harusnya lebih besar daripada sekadar mengusir Belanda. Orang masih berjuang dan bahkan berguguran setiap hari demi bentuk-bentuk kemerdekan dan otonomi lainnya.


[1] Walter Mignolo adalah profesor di Universitas Duke. Untuk membaca lebih lanjut karyanya mengenai dekolonialitas, lihat is a professor at Duke University. To read more on his work on decoloniality, see Walter D. Mignolo (2007) DELINKING, Cultural Studies, 21:2-3, 449-514 and dan Walter D Mignolo (2011) Geopolitics of sensing and knowing: on (de)coloniality, border thinking and epistemic disobedience, Postcolonial Studies, 14:3, 273-283

[2]   Robbie Shilliam adalah profesor di Universitas John Hopkins, yang risetnya mencakup keterlibatan politik dan intelektual dari kolonialisme dan ras dalam tatanan global

[3]   Lihat Soukotta (2019), artikel berjudul “An Uprising in West Papua” https://www.jacobinmag.com/2019/09/protests-west-papua-indonesia-surabaya-attack

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *