Sasi dan Pengetahuan Lokal Indonesia

“The epistemology of absent knowledges starts from the premise that social practices are knowledge practices. The practices not based on science, rather than being ignorant practices, are practices of alternative, rival knowledges. There is no a priori reason to favor one form of knowledge against another. Moreover, none of them in isolation can guarantee the emergence and flourishing of solidarity. The objective will be rather the formation of constellations of knowledges geared to create surplus solidarity. This we may call a new common sense. “

Boaventoura de Sousa, Epistemologies of the South

Semuanya berawal dari film “Semesta”. Di dalamnya, selain Nicholas Saputra, ada penggambaran yang sangat baik mengenai sebuah hukum adat yang menurut saya jarang dibahas secara lebih dalam. “Sasi”, yang berarti “larangan”, lazim dipraktekkan di berbagai masyarakat di Indonesia Timur. Akan tetapi ia tidak memperoleh tempat yang cukup serius dalam khasanah pengetahuan Indonesia secara lebih luas. Ada kesan bahwa konsep ini, baik secara spasial maupun epistemologi, seolah terbatas jangkauannya. Asumsi ini, beserta kemungkinan alasannya, ditinjau. Sebab, bisa jadi ia memiliki potensi  yang melampaui sebatas sebagai praktik masyarakat adat dan menandakan sebuah kearifan yang bersumber dari sebuah pengetahuan yang lebih dalam.

Sasi sebagai praktik sosial

Sasi secara etimologi berarti ‘larangan’. Pada dasarnya Sasi adalah hukum adat yang  mengatur tata cara pengambilan sumber daya alam, baik di laut dan darat. Dari berbagai sumber yang mengkaji Sasi, disimpulkan bahwa Sasi diterapkan di Maluku, sebelum berkembang ke Papua dan wilayah lainnya di bagian Timur Indonesia.

Menurut Arbain Langguhe, yang meneliti praktik Sasi di Maluku,  Sasi yang dikenal berasal dari Sasi di pulau Bacan. Dari Bacan, hukum adat Sasi berkembang karena turut disebarluaskan oleh pihak gereja, di wilayah yang mayoritas menganut agama Nasrani, dan dikenal ke Tobelo, Halmahera Berat. Sebagai contoh, Sasi bisa dikenal sampai ke Papua karena peran gereja yang menyebarkannya, sebagaimana  Sasi juga disebarkan oleh agama Islam sehingga dikenal pula istilah sasi masjid.

Satu hal yang mungkin tidak diduga adalah fakta bahwa  Sasi lebih banyak dikenal di Ambon karena turut diakui dan disebarluaskan oleh VOC. Sasi sudah dijalankan sejak era sebelum VOC datang ke Maluku. Praktiknya kemudian didukung oleh pemerintah kolonial, menurut Arbain Langguhe. Sasi kemudian justru lebih dikenal di Ambon, di mana pusat aktivitas kolonial berada. Hal ini bertolak belakang dengan asumsi bahwa pemerintah kolonial akan menghapus semua kebiasaan dan hukum adat istiadat, dan mendorong eksploitasi SDA. 

Selain Sasi, terdapat pula kearifan lokal lain di wilayah timur Indonesia, seperti praktik larangan di wilayah lain yang dikenal dengan istilah Boboso, seperti di Ternate, Tidore dan Jailolo.  Praktik sosial tersebut sekaligus menjadi falsafah masyarakat lokal. Sasi mendorong agar anggota masyarakat mengelola dengan tepat waktu dan sejalan dengan kesepakatan sosial yang berlaku.

Sasi sebagai praktik dan diskursus emansipatoris

“Semua praktik sosial mensyaratkan adanya sebuah pengetahuan. Produksi pengetahuan, sendirinya, adalah sebuah praktik sosial dan yang membedakannya dari praktik lain adalah refleksivitas, yang kemudian membentuk ulang konteks dari praktik tersebut dalam motif dan dorongan bertindak“(Santos 2008) .

Sasi diterapkan di berbagai masyarakat adat di Indonesia Timur. Norma dan pengetahuan yang tertanam dalam hukum sasi disampaikan secara lisan, sebagaimana sebagian besar hukum adat dilestarikan secara turun temurun. Prinsip-prinsip dalam Sasi diajarkan oleh Kewang, pemangku atau penjaga hukum adat. Selain melalui Kewang, sasi juga disampaikan melalui pemuka agama di gereja atau masjid. Namun, hukum adat ini tidak dipandang sebagai sebuah pengetahuan lokal yang ‘formal’.  Artinya, ia tidak disampaikan dalam pendidikan formal melalui persekolahan atau sistem pendidikan. Hal ini umum terjadi dengan berbagai kearifan lokal yang ada di Indonesia.

Fakta tersebut menyiratkan pertanyaan mengapa Sasi, yang menyerupai falsafah dan bukan sekedar ‘hukum’, tidak dapat dipandang sebagai bagian sebuah epistemologi lokal yang lebih luas? Juga, apa yang membuat kita tidak bisa mengangkat derajat pengetahuan lokal?

Padahal, menurut beberapa penulis yang mengkaji Sasi, Sasi merupakan sebuah pranata sosial  yang melampaui sekedar sebuah peraturan. Ia merupakan kearifan lokal tradisional untuk melestarikan lingkungan dan menjaga keberlanjutan sumber daya alam (Persada et.al 2018: 6891).

Kala berdiskusi dengan Yance Arizona, peneliti dan dosen hukum adat di Universitas Gadjah Mada, saya menyadari beberapa hambatan dalam mengangkat derajat pengetahuan lokal yang berbasis hukum adat di Indonesia. Tantangan pertama, sebelum melihat Sasi sebagai bagian dari sebuah pengetahuan lokal, adalah menempatkan Sasi sejajar dengan hukum formal.

Ada permasalahan mengenai koeksistensi yang timpang dan tidak menempatkan sasi sebagai praktek yang setara di hadapan hukum formal. Hukum formal masih melihat Sasi sebagai kearifan yang tidak mengikat, meski pemerintah sudah mulai membahas pentingnya Sasi sebagai bagian tidak terpisah dari sebuah kebijakan mengenai pengelolaan sumber daya bahari. “Kearifan lokal itu kadang masih butuh pengakuan dari lembaga formal, yaitu pemerintah”, ujarnya. Salah satu kekurangan kita adalah belum mengarusutamakan berbagai bentuk hukum adat ini menjadi bagian dari sebuah gerakan sosial yang lebih luas. Padahal,  di amerika latin, pandangan tersebut bisa menjelma sebuah gerakan sosial.

Menurut Yance Arizona, adat diakui sebagai hak dalam peraturan dan hukum, tapi operasionalisasinya tidak berjalan. Hal ini ini menghambat ia menjadi pengetahuan. Bahkan, menurutnya, di antara praktisi dan pengamat hukum, cara pandang terhadap konsep seperti“hak” juga bermasalah. Menurutnya lagi, di antara sebagian besar dosen agraria juga hak ulayat saja tidak dianggap sebagai hak atas tanah.

Tantangan kedua menyangkut cara pandang dalam menempatkan praktik sosial masyarakat adat yang tidak dapat  dihitung dan tidak dianggap sebagai kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi, karena tidak tergolong dalam “economics of scale”. Mendorong pelembagaan sasi bukan berarti kita bersikap anti-pembangunan, melainkan mendorong munculnya wacana tanding yang bisa saja tetap kompatibel dengan apa yang dipahami publik luas sebagai “ekonomi” .

Ketidakmampuan kita untuk menjadikan Sasi sebagai contoh kepingan pengetahuan lokal, juga mencerminkan ketiadaan kontribusi indonesia yang signifikan dalam diskursus mengenai epistemologi dari Selatan. Mungkin, hal ini juga bersumber dari ketidakmampuan kita untuk  mengartikulasikannya ke dalam bahasa inggris, meski ini bukan prasyarat mutlak.

Melihat tantangan-tantangan di atas, justru semakin besar keinginan untuk mengangkat derajat pengetahuan lokal ini agar ia bisa kita anggap sebagai bagian kecil dari untaian epistemologi yang ada di nusantara.

**

Referensi

Santos, Boaventura De Sousa, ed. 2008. Another Knowledge Is Possible: Beyond Northern Epistemologies.

Persada, Nadia Putri Rahma., Mangunjaya, Fachrudin M., Tobing, Imran SL. 2018.  Sasi Sebagai Budaya Konservasi Sumber Daya Alam di Kepulauan Maluku. Jurnal Ilmu dan Budaya. 41 (59).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *