Selfie Sana, Selfie Sini: Memahami Kultur Selfie di Indonesia

Oleh Sarani Pitor Pakan, Shauma Lannakita, Fajri Siregar
Diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris oleh Dwiputri Pertiwi
Tampak familiar bukan? Kredit foto: Fajri Siregar

Saya dan ibu berjalan menyusuri Alte Brücke, di jantung kota Heidelberg. Pada satu titik, ibu saya berhenti dan meminta selfie. ‘Ayo selfie,’ pintanya. Saya menjulurkan handphone, memencet layar sentuh, dan jepret! Di situ senyum kami berakhir menjadi arsip digital. Jelas itu bukan kali pertama ibu meminta selfie di Heidelberg. Saya kerap bertanya-tanya bagaimana caranya selfie menjadi hal yang lumrah bagi ibu saya. Dalam konteks lebih luas: bagaimana praktik selfie di Indonesia dinormalisasi, sehingga ia menjadi populer? Bagaimana caranya seseorang berjalan dan tiba-tiba berhenti untuk sebuah selfie; atau bercengkrama asyik bersama teman lalu stop demi berselfie-ria?

Saya membayangkan fragmen-fragmen lampau untuk mencari-cari serakan ingatan tentang budaya memotret diri sendiri, jauh sebelum selfie menjadi kata terpopuler 2013 versi Kamus Oxford. Sebelum smartphone menjadi kenyatan sosio-material sehari-hari, dan sebelum kamera depan adalah fitur wajib ponsel, selfie sudah dipraktikkan dengan khidmat di kalangan abg. Berpose di hadapan kaca toilet mungkin adalah format selfie paling keren pada masanya. Selain itu, di bangku SMA, saya ingat saat teman sekelas mengambil selfie dengan kamera belakang ponselnya. (Untuk apa kamera depan, huh?)

Jadi, selfie sebenarnya tidak baru-baru amat. Kita telah lama hidup bersamanya. Kemudian, smartphone dan media sosial memberi ia panggung di jantung peradaban abad 21. Bahkan selfie telah menjadi terlalu sehari-hari, sehingga kita seringkali lupa untuk berusaha memahaminya.

Tulisan ini berangkat dari riset kecil yang kami lakukan, dalam rangka memahami bagaimana selfie dipraktikkan di Indonesia. Sebagai pintu masuk, kami fokus ke 1) kebiasaan selfie bareng bule dan 2) pertanyaan “apakah kita terlalu berlebihan dalam hal selfie?” Kami menyelami dua hal itu melalui survei online, observasi, dan interview tertulis. Dari survei online yang awalnya didistribusikan melalui milis LPDP, terkumpul data dari 96 responden. Ada tiga ciri mayoritas responden kami: 1) merupakan perempuan,  2) berumur 25-31 dan 3) telah menamatkan S2. Jelas, data tersebut tidak dapat digeneralisasi ke populasi Indonesia keseluruhan.  Lalu, di sana-sini, refleksi personal turut meramaikan analisis di antara kami bertiga.

Setelah narsisme

Pada mulanya adalah narsisme. Sejak awal popularitasnya, selfie kerap dihubungkan dengan sifat dan laku narsistik. Pada 2014, saya sempat menulis, “[h]asrat purba bernama narsisme, serta dorongan absurd dari media sosial hari ini, membuat selfie menjadi fenomena.” Ismanto (2018, 75) menyebut selfie sebagai bentuk “narsisme digital”, yang prosesnya bukan hanya memotret diri sendiri, tapi juga membagikan ke media sosial. Tujuannya adalah eksistensi diri. Hal itu diamini Raditya (2014) dalam studinya soal habit selfie di pameran seni di Yogyakarta. Menurutnya, eksistensi diri adalah alasan kenapa orang membawa tongsis (tongkat narsis) ke galeri seni. Mungkin selfie memang terkait dengan narsisme, dan tongsis adalah manifestasi paling sahih untuk itu.

Kendati begitu, saya merasa narasi korelasi selfie-narsisme sebaiknya perlu ditanggalkan. Lambat laun ia telah jadi purba. Pun benar keduanya terkait, selfie toh lebih dari sekadar itu. Ia mengandung banyak kenyataan sosio-antropologis lain yang kompleks. Meleburkannya ke dalam konsep narsisme dan eksistensi diri tak lebih dari pintu masuk menuju labirin yang lebih mendebarkan. Setelah narsisme lalu apa?

Di luar narasi narsisme, usaha untuk menulis selfie ala Indonesia sudah dirintis di kanal-kanal online. Sebuah artikel dalam harian Guardian (2018) merekam soal praktik selfie di lokasi bencana, berlatar tsunami Banten 2018. Di tengah lanskap musibah itu, sekelompok orang sempat tersenyum dan berfoto selfie (atau wefie). Intensi macam apa yang mendorong mereka untuk selfie di sana? “Foto musibah akan mendapat lebih banyak likes. Mungkin karena mengingatkan orang untuk bersyukur,” ujar seorang informan. Di lokasi yang sama, informan lain mengaku telah punya banyak selfie untuk media sosialnya.

Selain itu, praktik selfie ala Indonesia yang khas adalah soal selfie bareng bule. Sekali tempo saya mengalaminya langsung ketika menemani dua kawan asal Belanda ke Monas. Saat hendak masuk ke dalam, tiba-tiba seorang bapak menyetop kami dengan smartphone di tangannya. Katanya ia dan teman-temannya ingin berfoto bersama sepasang bule itu. Saya jawab mereka teman saya, bukan turis, lalu kami bertiga pergi melengos masuk ke ruang galeri Monas.

Sudi (2018), Hasan (2018), dan Lavinia (2020) turut menangkap kebiasaan semacam itu. Tak tanggung-tanggung, mereka meletakkan analisis soal itu dalam kerangka berpikir poskolonialisme, dengan menyebut hasrat selfie bareng bule sebagai bentuk ‘inferiority complex’, ‘mental inlander’, dan ’mental bekas jajahan’.

Kebiasaan selfie bareng bule dan analisis poskolonial untuknya adalah pintu masuk yang lain untuk memahami budaya selfie di Indonesia. Di titik ini, kita seharusnya bertanya bagaimana caranya selfie bisa menjadi ruang untuk mereproduksi relasi (pos)kolonial di Indonesia? Apa makna selfie bareng bule? Apakah ia sekadar pengejawantahan mental inlander dan perasaan inferior kita sebagai manusia Indonesia? Dalam kacamata psikologi, argumen mengenai rasa inferior ini memang menarik untuk lebih ditelisik, namun berbahaya jika disimpulkan dari data yang sifatnya hanya permukaan.

Bule sebagai obyek

Adalah suatu siang akhir pekan yang terik di Kota Tua Jakarta. Manusia bermacam rupa bersliweran di sana, membentuk gerak-gerik yang tak paralel. Di tengah riuh rendah itu, beberapa remaja mendekati satu atau dua bule yang kebetulan sedang ada di sana. Mereka menyetop si bule, mengajak bicara, dan berusaha meyakinkan si bule untuk selfie bareng. Beberapa berhasil mendapatkan selfie nan prestisius itu; yang lain gagal. Setidaknya ada lima fragmen serupa yang kami amati siang itu, membuat kami terdorong untuk menodong para remaja itu dengan sekelumit tanda tanya.

Ada beragam alasan kenapa mereka meminta bule-bule untuk selfie bersama. Ada yang karena tugas sekolah/kuliah, ‘biar eksis’, atau karena si bule yang disasar ‘ganteng’. Satu jawaban menarik diberikan seorang remaja putra asal Tangerang. Ia ingin foto bareng bule karena: “Jarang ada orang gitu di Indonesia, di Jakarta. Seperti anti-mainstream […] Lihat bule kan nggak sering, nggak kayak tiap hari kita lihat orang Indonesia.” Di titik itu, bule telah menjadi semacam obyek, yang terberi jarak oleh ‘kita’. Kita tak perlu tahu karakter, sifat, kepribadian, atau apa pun tentang si bule, karena pada akhirnya mereka hanya sekadar ‘orang gitu’ yang tidak saban hari kita jumpai.

Mungkin karena itulah saya gusar ketika seorang bapak di Monas ingin foto bareng dua teman londo saya. Ia sama sekali tak tertarik siapa nama bule-bule itu, asal mereka, atau apa yang mereka bikin di Indonesia. Bapak itu cuma ingin bule-bule itu ada di galeri smartphone-nya, sebagai obyek fotografis yang mungkin akan ia bagikan di media sosial. Bule-bule itu akan jadi tanpa nama, tanpa cerita, tanpa personaliti. Mereka akan ada di koleksi foto si bapak hanya karena kulit mereka putih, mata biru, rambut pirang. Mungkin itulah kenapa saya menampik permintaan si bapak, karena ia tidak menghargai teman-teman saya sebagai manusia – “hanya sekadar obyek yang mewakili kulturnya” (Jemisin, 2012).

Hal itu pun diakui oleh Sebastiaan, asal Belanda. Di Indonesia, tiap kali diajak selfie oleh pribumi, ia merasa dirinya adalah semacam ‘atraksi’. “Mungkin bukan aku, tapi tubuhku. Tubuhku adalah bagian dari pengalaman turistik,” ujarnya, seraya mengakui permintaan selfie tak hadir setiap waktu dan di segala lokasi, kebanyakan di tempat wisata. ‘Tubuh’ yang ia maksud sudah tentu adalah kulit putihnya, yang membuat ia jadi ‘seperti barang langka’. Ia menambahkan, “mereka mungkin pernah lihat orang kulit putih di televisi, tapi belum tentu di rutinitas sehari-hari.” Nuno, juga asal Belanda, sepakat bahwa bule menjadi obyek selfie karena mereka ‘asing’ dan ‘bukan Indonesia’.

Mungkin kita akan tergoda untuk menyebut obyektifikasi bule – melalui selfie – sebagai wujud eksotisasi yang berbalik (reversed exoticization), peliyanan terhadap barat, atau bahkan pembalikan orientalisme (reversal of orientalism). Kendati begitu, Coronil (1996) sejak lama mengingatkan bahwa pembalikan orientalisme mustahil terjadi pada konteks relasi yang asimetris antara Barat dan bukan-Barat. Menganggap bahwa orientalisme dan eksotisme bisa dibalikkan semudah itu sama halnya dengan mengabaikan sejarah panjang kolonialisme, yang residunya kekal kita cium hingga hari ini.

Mabuk selfie ala Indonesia?

Merajalelanya selfie dalam kehidupan urban kontemporer di Indonesia memberi kesan bahwa kegemaran kita dalam berselfie sudah berlebihan. Banyak pula yang merasa orang Indonesia lebih suka selfie dibanding orang-orang dari negara lain. Hasil survei online yang kami edarkan merekam persepsi diri itu. Dari 96 responden, 66 persen merasa kita memang lebih doyan selfie dibanding masyarakat negara lain. Sedangkan, hampir 60 persen merasa kebiasaan selfie orang Indonesia sudah dalam tahap berlebihan.

Kenapa persepsi soal selfie berlebihan itu muncul ke permukaan? Secara umum, selfie di Indonesia dipraktikkan di segala konteks waktu dan tempat, serta oleh beragam kelompok demografis. Daya, asal Jakarta, menyebut bahwa “aktivitas selfie ada di hampir semua momen pertemuan baik formal maupun informal”. Ia membandingkan dengan pengalamannya di beberapa negara Eropa, dimana fenomena selfie hanya sering dilihat di lokasi wisata, sedangkan selfie jarang tampak di pertemuan formil. Sementara itu, Nuno terkesan dengan fakta bahwa: “[B]ukan hanya anak-anak atau remaja yang suka selfie, orang dewasa juga menikmatinya. Sepertinya tidak ada demografi yang spesifik; aku pernah lihat orang kaya Jakarta dan ibu-ibu kaki lima berselfie.”

Alasan lain berhubungan dengan masalah pantas-tidaknya  berselfie. Seorang responden menulis, “terkadang banyak orang tidak mempertimbangan situasi dan kondisi”. Narasi semacam itu menguatkan persepsi diri soal mabuk selfie orang Indonesia. Responden lain mengingat upacara pemakaman BJ Habibie dimana ‘masyarakat peziarah memegang ponsel masing-masing’, sedangkan yang lain menemukan praktik selfie di lokasi kecelakaan, yang menurutnya adalah ‘obyek (selfie) yang tidak tepat’.

Meski begitu, membandingkan kebiasaan selfie orang Indonesia dan bukan-Indonesia tentu mengandung problematika tersendiri. “Bagaimana cara membandingkannya?” tanya Sindhunata, asal Jakarta, retoris. Sebastiaan tak kalah skeptis, ia menganggap bahwa ‘kebangsaan bukan kategori yang tepat untuk menganalisis fenomena ini’, mengingat orang dari berbagai belahan dunia mempraktikkan selfie. Pun jika kategori negara dapat dibandingkan untuk memahami selfie, itu tergantung negara mana yang mau dibandingkan. “Dibanding perempuan Asia lain, seperti Korea dan China, perempuan Indonesia jauh lebih jarang berselfie ria. Tapi dibanding perempuan Eropa, perempuan Indonesia jauh lebih banyak mengambil selfie,” jelas Adiska, asal Jakarta.

Saya sendiri tak ambil pusing apakah orang Indonesia terlalu berlebihan dalam berselfie, atau lebih sering selfie dibanding negara lain. Pada akhirnya, ketika selfie kita klaim sebagai bagian dari gaya hidup, aktivitas waktu luang, maupun rutinitas sehari-hari, masing-masing kita telah mereproduksi maknanya. Demikian pula beragam orang dari berbagai negara. Ada yang suka selfie saat mencoba gaya rambut baru, saat berpakaian menarik, atau saat cahaya sedang bagus; ada pula yang doyan selfie untuk mengabadikan momen jalan-jalan, berbagi kebersaamaan dengan teman atau keluarga, atau sekadar iseng belaka.

Berbagai pintu masuk lain: Anti-konklusi

Riset kecil soal selfie ini didorong oleh rasa penasaran kenapa kita selfie dimana-mana dan kenapa selfie dengan bule jamak terlihat. Yang awalnya kami cari adalah pemahaman mendalam soal kultur selfie, kenapa kita suka berselfie, dan bagaimana selfie dipraktikkan sehari-hari. Secara tanpa sadar, kami mungkin telah menjalani observasi-partisipatoris di keseharian masing-masing dengan mengamati dan berpartisipasi dalam budaya selfie ala Indonesia. Tapi, seperti ada yang luput.

Pertama, generalisasi jelas tak mungkin dilakukan terhadap 260-an juta rakyat Indonesia. Jadi, pemakaian istilah ‘orang Indonesia’ dalam riset ini perlu dibaca secara kritis. Kedua, observasi dan wawancara tertulis sulit mendokumentasikan gelagat, geliat, dan kecamuk di diri masing-masing informan tentang kenapa, bagaimana, kapan, dan dimana ia selfie. Wawancara mendalam dan otoetnografi mungkin akan lebih mampu merekam semua itu. Ketiga, terkait poin kedua, metode ethnography by walking di tempat-tempat yang Instagrammable diusulkan oleh Sindhunata, kebetulan mahasiswa doktoral antropologi. Ia juga merasa metode visual bisa dicoba; misalnya dengan merekam proses jalan-jalan bareng informan lewat kamera yang tidak intrusif (seperti Go-Pro), kemudian ‘go full Oppenheimer, ajak nonton bareng (informan)’.

Pelbagai keterbatasan di atas akhirnya hanya memungkinkan kami memahami hal-hal yang ada di permukaan. Topik wefie (selfie kelompok) sebenarnya menarik untuk digali lebih dalam, terutama untuk mencari kemungkinan keterkaitannya dengan kolektivitas ala Indonesia dan sel/wefie sebagai arsip publik – alih-alih privat. Dugaan itu muncul karena hasil survei online menyebut 92 persen responden lebih suka selfie berkelompok daripada selfie sendirian. Selain itu, Nuno mengaku terkesan dengan fenomena wefie di Indonesia karena di Belanda, negeri asalnya, selfie kelompok tidaklah lazim. Ia juga mencatat bahwa di Indonesia selfie umumnya dibagikan ke ruang “publik” lewat media sosial, sedangkan selfie dalam konteks Belanda umumnya lebih untuk konsumsi pribadi.

Pada akhirnya, tak ada yang perlu dirangkum dan disudahi di sini. Selfie ala Indonesia, baik bareng bule atau tidak, baik yang berlebihan maupun tidak, hanyalah bagian tak terpisahkan dari realitas sehari-hari kita hari ini. Terlalu banyak hal berkelindan di dalam selfie-selfie kita: teknologi smartphone, media sosial, hubungan antarmanusia yang berjauhan, eksistensi diri, hasrat narsistik, relasi poskolonial, dan lain-lain; sehingga kemungkinan untuk memahaminya secara utuh tak akan mudah sama sekali. Setelah ini ada baiknya kita terus mencatat, entah itu lewat selfie atau medium-medium lain.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *