Mengklaim kembali arti jiwa raga

Khairani Barokka
Foto hitam putih seorang perempuan Indonesia dengan rambut pendek, anting-anting, dan baju hitam dan batik, sedang tiduran menghadap lantai sambil menggenggam pena dan menulis. Fotografer: Derrick Kakembo.

Awal mulanya Perdana Putri, mewakili redaksi Siasat, berniat untuk berbincang dengan Khairani Barokka soal sastra anti-kolonial. Tetapi Okka menjelajahi banyak topik yang tidak diduga dan memaksa kita untuk memikirkan ulang banyak hal, terutama soal keadilan disabilitas. Simak obrolan mereka berdua.

**

Bagaimana Okka bisa terpapar konsep anti-kolonialisme dan menjelajahinya?

Aku dari kecil banyak terpapar dengan aktivisme di Indonesia, terutama aktivisme untuk keadilan lingkungan hidup, aktivisme untuk masyarakat adat, jadi aku tumbuh besar dengan banyak kontak melalui keluarga dan teman terdekat di lingkup itu. Jadi yang berubah pada waktu aku S3 adalah cara aku bisa mengutarakan perbedaan-perbedaan antara gerak-gerak anti-kolonial dengan gerak-gerak dekolonial.

Aku sekarang bekerja di Decolonizing Art Institute, fokusnya di dekolonisasi kurikulum (seni), (konsep) dekolonisasi/decolonizing itu sangat diperdebatkan, dan sangat dikooptasi. Menurut pemahaman umum adalah, kurikulum itu kita ganti saja silabus dengan laki-laki kulit putih atau bahkan ada buku-buku feminis kulit putih (era) suffragette yang kolonial. Jadi di lingkup dekolonisasi pun, aku masih harus banyak mengajar kolega-kolega tentang, dan tentu saja aku juga selalu belajar . Suffragette tuh masih kolonial dan rasis banget; dengan adanya pembebasan perempuan kulit putih bukan berarti ada pembebasan di koloni-koloni. Aku juga berpikir bahwa kolonialisme tuh nggak berakhir, masih belum berakhir, karena negara-negara yang “developing countries” masih (dianggap) belum ”maju.” Aku kesal dengan istilah “Negara maju” atau “Negara berkembang”. Kita kan nggak miskin, kita kan dieksploitasi.

Belum ada pemikiran kritis bahwa negara-negara itu masih dijajah, terutama di kapitalisme kolonial. Kita bilang dekolonisasi, tapi kita ikutsertakan budaya-budaya Indonesia di dalam pemahaman bule barat dan belum ada pemahaman anti-kolonial bahwa konsep negara-bangsa (nation-state) sangat kolonial. Aku melihat Indonesia sebagai pemerintahan terpisah dari Indonesia sebagai kumpulan manusia-manusia dan populasi-populasi yang dinaungi oleh Pemerintahan (tersebut).

Untuk berbicara mengenai anti-kolonialisme, harus juga berbicara mengenai Papua, Kendeng, peristiwa 1965, Kamisan, dan berbicara mengenai sistem-sistem yang terus merusak seperti Omnibus Law dan lain-lain. Dekolonisasi malah menjadi sesuatu tanpa gigi — jadi sangat halus. Yang sangat, “Oke, kita ikutsertakan semua. Ini neoliberal cultural complex (industri budaya neoliberal) yang mau masukin semua hal, termasuk seperti perempuan penyandang disabilitas.

Banyak hal seperti aneksasi Papua itu dilakukan dalam jargon “anti-kolonialisme,” padahal itu bisa jadi bagian kooptasi seperti yang Okka sampaikan. Riset Okka membahas ini dengan kerangka kerja Keadilan Disabilitas. Bisa jelaskan tentang konsep itu?

Jadi konsep Disability Justice atau Keadilan Disabilitas itu adalah frasa yang dibuat oleh kumpulan seniman penyandang disabilitas yang queer, kulit cokelat, kulit hitam, namanya Sins Invalid. Ada 10 Prinsip Keadilan Disabilitas, termasuk diantaranya Anti-Kapitalisme.

Aku ingin mendekolonisasi frasa itu untuk mengklaim kembali arti “jiwa raga” dari budaya-budaya di Indonesia, ada ratusan budaya; dan apa artinya jiwa raga yang “baik” (juga “sehat”). Karena konsep itu tidak hanya soal disabilitas, tapi kita semua. Apa yang kita disebut pintar, bagus, kuat, dan untuk apa semua label itu. Able artinya mampu. Tapi kemampuan itu ditakar dengan kapabilitas untuk tugas-tugas dalam kapitalisme kolonial. Jadi kalau kamu nggak mampu bekerja sebagai buruh di dalam kapitalisme-kolonial, maka kamu nggak mampu. Dan temanku, Slamet “Amex” Thohari dalam bukunya Disability in Java membahas dewa-dewi yang memiliki disabilitas. Begitu masuknya rumah sakit-rumah sakit Kristen Belanda, pandangan bahwa disabilitas itu lebih dekat ke Tuhan dimusnahkan, dan sekarang situasi itu memburuk di Indonesia.

Menurut International Labor Organizatio (ILO), 43-60% penyandang disabilitas di Indonesia itu tidak tamat SD; jadi pendidikan formalnya amat rendah terutama yang perempuan. Ini data juga tidak terlalu ketat. Penyandang disabilitas di Indonesia itu ada di bawah 20%.[1]

Dekolonisasi berarti mengklaim ulang apa artinya badan yang baik, dan menunjukkan bahwa ada logika neoliberal di sana, apalagi dengan konsep-konsep seperti inklusivitas dan keanekaragaman.

Amerika Serikat dan Inggris misalnya menggunakan jargon-jargon tersebut untuk bicara disabilitas, tapi mereka berkontribusi untuk melumpuhkan orang-orang Palestina. Jasbir Puar dalam The Right to Maim membuka model-model neoliberal dalam konsep disabilitas: menjadi pro-Hak Disabilitas, tapi di satu sisi melumpuhkan orang lain. Ada bedanya antara Hak Disabilitas yang sangat mudah untuk diikuti bingkai kerja neoliberal di “negara maju” daripada Keadilan Disabilitas. Memaknai ulang jiwa raga itu sangat penting, dan maknanya harus dilokalkan. Pertanyaan-pertanyaannya seperti: badan ini buat apa? Kenapa kita memanggil orang lain “bodoh,” “lemah”? Memangnya apa yang kita maksud dengan abilitas? Aku menghadirkan pertanyaan tersebut dengan seni.

Aku dan Okka saat ini tinggal di Metropol, di pusat kekuasaan kolonial. Bagaimana sebaiknya kita menavigasikan kontradiksi-kontradiksi tersebut? Terlebih untuk membangun Keadilan Disabilitas tersebut.

Penting untuk mengingat bahwa Keadilan Disabilitas juga terkait dengan isu lingkungan hidup. Semua konsumsi kita, di bawah kapitalisme, tidak ada yang bebas dari darah orang lain. Kelapa Sawit misalnya. Konsumsi kita yang penyandang disabilitas berhubungan dengan orang-orang yang menyandang disabilitas karena paparan merkuri di sungai-sungai Kalimantan. Tapi bahkan di Metropol pun, akses disabilitas tidak selalu mudah. Di sini orang-orang masih bisa bilang, “Oh kamu gak terlihat disabled.” Aku tidak suka istilah disabilitas tak terlihat (invisible disability). Apa maksudnya gak terlihat? Setiap aku jalan berapa langkah, aku harus jongkok – jalan, lalu jongkok lagi. Jalan sedikit lewat bukit kecil, sampai sekarang dadaku masih perih.  Tapi asumsi tentang (apa yang terlihat soal) disabilitas itu selalu hadir lebih dulu, apalagi untuk perempuan. Banyak penyandang disabilitas perempuan yang gak berani terbuka, tentu karena ableism yang luar biasa di mana-mana: dari akademia hingga industri-industri lain. Misalnya ada sejarah panjang soal ableism ini, dan terkait dengan industri seni rupa dan kesenian visual.

Aku yakin ada banyak perempuan yang punya penyakit kronis di dunia, tapi mereka gak bilang. Hal-hal seperti menstruasi misalnya, itu serius dan penelitian bilang sakitnya hampir sama seperti ditabrak mobil. Tapi pasti dikira mencari perhatian, bohong, bawel. Lebih-lebih lagi kalau perempuan kulit hitam, cokelat, atau etnis minoritas lainnya di negara-negara “Barat” ini. Di Indonesia masih ada praktek dipasung. Ini kejahatan imperial dari era kolonialisme: bahwa manusia-manusia tidak “normal” harus diasingkan dan diperlakukan buruk.

Yang kita bisa lakukan adalah dengan bersolidaritas – berusaha saling membantu. Toh dalam lingkaran disabilitas masih banyak juga rasisme. Perempuan kulit putih jadi juru bicara untuk semua orang, padahal yang lebih rentan didiagnosa penyakit kronis adalah yang kulit berwarna. Di Inggris misalnya, yang paling mungkin menjadi penyandang disabilitas adalah dari Komunitas Asia Selatan karena banyak faktor. Ada ketimpangan statistik — siapa yang menyatakan diri disabilitas dan siapa yang paling terdampak. Hal lainnya ada stigma dan rasisme di dunia medis, walau bukan semua disabilitas adalah penyakit. Tapi masih yang salah di dalam penggunaan bahasa kita, misalnya “wah buta/tuli [terhadap suata hal].” Atau “bego.” Kita harus saling belajar satu sama lain, dan tidak berasumsi mengenai kehidupan orang lain, dan bergerak secara solider dengan mengedepankan yang disabilitas karena di Indonesia sayangnya masih berbasis hibah dan rasa kasihan.

Di ruang seni, bagaimana sejauh ini Sastra Indonesia berbicara mengenai disabilitas dan/atau anti-kolonialisme?

Kita tidak bisa klaim bahwa kita tahu semua apa yang ditulis di Indonesia, dengan bahasa-bahasanya yang ada lebih dari 700. Jadi kalau ada yang bilang ini Kanon Sastra Indonesia hanya itu berbahasa Indonesia, ya tidak benar juga. Bagaimana sastra di Papua, Manado, dan Jambi? Kita tidak bisa menggeneralisasi “Sastra Indonesia,” karena banyak yang belum kita ketahui dan baca.

Tapi seringkali masalahnya kan juga pengarsipan dan penyebaran. Misalnya waktu di Pekanbaru, aku ngobrol sama Komunitas Disabilitas dan ikut acara radio mereka. Rupanya mereka sudah sering bikin sesi radio tapi gak pernah direkam. Contoh lainnya Bahasa Isyarat yang tidak dianggap bagian dari sastra. Sampai saat ini juga masih ada kesenjangan antara berbagai bahasa disabilitas dengan bahasa yang “abled” di Indonesia. Generalisasi seperti ini juga harus dilawan, baik di Metropol, maupun pusat seperti Jakarta ataupun pusat-pusat kesenian patriarkal lainnya yang bisa bilang, “Oh ini kanon sastra.” Di mana-mana ada imperialisme dan patriarki seperti itu, di komunitas-komunitas kesenian dan sastra yang “Kami tidak berbicara dengan bahasa adat itu, atau baca buku, atau cerpen-cerpen dari komunitas lain.” Hanya karena kita tidak membacanya, bukan berarti karya-karya itu tidak ada.

Menurut kamu gimana?

Aku juga belum membaca semua karya sastra di Indonesia, Tapi menurutku penting untuk melihat narasi apa yang ditawarkan di cerita. Bagaimana kita menyangkutkan narasi itu dengan struktur kuasa yang kita coba lawan.

Kebetulan aku jadi mentor untuk program Ceritrans bersam Eliza, Intersastra, dan House of the Unsilenced. Ada banyak transpuan yang juga penyandang disabilitas, tapi harus jadi tulang punggung keluarga, dan mereka masuk ke prostitusi, kerja seks, dan panti pijat. Bukan berarti kerja-kerja mereka selalu sengsara, tapi risiko yang mereka hadapi lebih besar karena sektor-sektornya masih belum dilindungi. Mereka semakin rentan. Narasi-narasi seperti ini harus datang dari kita sendiri – mereka yang penyandang disabilitas dan transpuan. Kalau tidak, mereka cuma sebatas jadi “rasa kasihan” tadi.

Dalam komunitas seni, konsep ”care”/peduli terus didengungkan sebagai bagian dari membangun karya-karya seni dan merawat komunitas.

Ya, tapi sering disalahgunakan. Misalnya di salah satu konferensi soal Kepedulian dan Komunitas di Kesenian, tidak ada satupun pembicara kulit hitam walaupun saat itu gerakan Black Lives Matter sedang kencang. Akhirnya salah seorang partisipan bilang bahwa dia mau ada pembicara kulit hitam. Yang terjadi malah panitia konferensi ini, yang kulit putih, diberikan akses terapi seni. Yang kulit hitam diberi terapi gratis. Tidak ada yang minta terapi. Kita minta keadilan. Jadi konsep “peduli” ini sebenarnya apa. Kenapa asumsinya semua orang kulit hitam butuh terapi?

Itu konferensi tentang kepedulian, dan itu cara mereka menerjemahkan kepedulian. Kasus itu menunjukkan bagaimana kapitalisme nekropolitik itu berada di ruang-ruang seperti kepedulian. Konsep kepedulian dan dekolonisasi ini sudah terlalu dikooptasi. [Konferensi tersebut] lebih memerhatikan orang kulit putih, yang padahal mengutip penulis-penulis kulit hitam seperti Audrey Lord, Angela Davis, dan anggota Black Panthers. Ini politik sitasi, tapi paparannya ke kapitalisme.

Aku cukup mengapresiasi rahasia-rahasia di Indonesia, karena itu menjauhkan ide-ide kita dikooptasi. Kita punya hak menolak untuk diterjemahkan/diikutsertakan. Karena pertanyaannya adalah: diikutsertakan ke dalam apa?

Model terjemahannya (terhadap teks) juga bisa sangat intrusif dan kolonial.

Benar. Riset residensiku membahas kerahasiaan ini. Praktik “mengoleksi” ini serius. Museum Inggris menulis bahwa sumber koleksi mereka dari “Kolektor Lapangan” – tapi ini maksudnya orang-orang seperti Thomas Raffles. Jadi informasinya menutup kebrutalan dan kekerasan yang terjadi.

[Praktik mengoleksi] ini kan bagian dari negara pengawas (surveillance state), ya. Semua data (informasi, teks, ilmu) kita diambil. Akademia mengambil model koleksi ini. Kita gak bisa bilang “dekolonisasi” kalau kerjanya cuma meraup filosofi “Pencerahan.” Banyak masyarakat adat di dunia yang menolak untuk diterjemahkan – dan ini hak yang penting.

**


[1] Data dari Badan Pusat Statistik melaporkan sekitar 4.3% populasi Indonesia adalah penyandang disabilitas; WHO dan ILO meragukan klaim ini dan angka temuan mereka jauh lebih tinggi (10-15%).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *