Mural dengan wajah masyarakat adat

Belajar dari Buen Vivir

Sumber: https://unsplash.com/@giuliamay

Indonesia adalah negara ambisius yang malas berpikir soal cara-cara alternatif dalam membangun. Pasca reformasi, Indonesia hanya berani mengangkat ide soal ‘membangun dari pinggir’ tanpa pernah berbicara soal apa dan bagaimana niat pembangunan itu diterjemahkan. Betul, kita memiliki ‘Musrenbang’ sampai ke tingkat desa yang begitu dibanggakan, namun pada kenyataannya proyek besar pembangunan ini toh ditopang oleh upaya ekonomi yang bersifat eksploitatif, dikuasai segelintir orang dengan jaringan oligarkis, dan meminggirkan alam plus manusia.

Di saat yang bersamaan, rekan-rekan di Amerika Latin sudah lebih terlatih dalam membangun diskursus alternatif dan perlahan-lahan menemukan pola implementasi. Tidak sedikit peneliti Indonesia yang sudah berkenalan dengan pemikiran Arturo Escobar dan pemikir postcolonial dari Amerika Latin lainnya seperti Walter Mignolo, Boaventoure de Sousa dsb. Kritik mereka terhadap pembangunan dan dogma modernisasi ala Barat sangat relevan dengan kondisi Indonesia. Terlebih, Indonesia dan negara-negara Amerika Latin berbagi sejarah kolonialisme dan menjadi korban geopolitik Perang Dingin dalam banyak bidang, alias neokolonialisme.

Namun satu hal yang membedakannya adalah, para pemikir di Amerika Latin sudah beberapa langkah lebih maju, terutama dalam ikhtiar menawarkan gagasan alternatif. Mereka sudah mengajukan konsep konsep seperti pluriverse, dan yang paling masyhur, Vivir Bien[1], falsafah hidup yang mengakui hak alam dan hak ekologis yang diaktualisasikan dalam pembangunan.

Bolivia dan Ekuador adalah salah dua negara di Amerika Latin yang paling konkrit dalam menerjemahkan vivir bien sebagai haluan pembangunan. Bolivia, secara khusus, telah mengesahkan falsafah vivir bien ke dalam konstitusi dan rencana pembangunan mereka. Hal ini dimungkinkan oleh kepemimpinan Evo Morales, pimpinan negara yang memang berasal dari masyarakat adat dan mewakili kelompok masyarakat dan gerakan sosial lainnya. Ini satu fakta yang umumnya diabaikan masyarakat dunia ketika melihat Amerika Latin dan menganggap wilayah ini ‘terbelakang’. Mereka padahal jauh lebih progresif dibandingkan Brasil yang membanggakan dirinya sebagai bagian dari BRICS itu.

Di dalam artikel jurnalnya, Elija Maria Ranta mencoba merefleksikan perjalanan adopsi vivir bien dari sebuah falsafah menjadi sebuah haluan negara dan pembangunan. Di dalam artikelnya yang dipublikasikan Third World Quarterly, Ranta bertanya sejauh mana “kategori utopis egaliter ini bisa diterjemahkan ke sebuah nowtopia, praktek alternative masa ini, di dalam struktur negara bangsa” yang selama ini kita kenal.

Di sinilah kita perlu melihat dinamika yang terjadi, baik di dalam ranah politik maupun luar, untuk bisa memahami batas dan potensi gagasan yang utopis ketika sudah diadopsi oleh institusi yang kita sebut negara. Bolivia adalah studi kasus nyata, laboratorium hidup di mana negara mengadopsi falsafah yang datang dari akar rumput, didorong oleh gerakan sosial, dan disepakati secara demokratis. Harusnya ini resep sempurna pembangunan yang mengakomodasi semua pihak.

Hal ini menarik lantaran, 1) ketiadaan contoh lain di muka bumi yang sedemikian berani dalam menerapkan pembangunan yang bersifat bottom-up dan 2) banyak kemiripan secara struktural antara Indonesia dengan negara lain di Amerika Latin sebagai negara bekas jajahan.

Kontradiksi

Seperti halnya konsepsi lain yang bersifat empowering, seperti partisipasi, transparansi, pembangunan berbasis manusia, atau kesetaraan, ada yang pelik ketika ia diambil oleh negara. Ada dua kemungkinan yang terjadi ketika ia diakui dan diadopsi oleh negara.

Pertama, ia malah menjadi bentuk eksklusi baru ketika negara tidak bisa mengadopsinya secara menyeleruh dan bersifat rata tanpa kecuali, kedua ia menjadi tereduksi dan berhenti sebagai jargon semata, dan diterjemahkan ke dalam bentuk kebijakan atau program yang sekedar seremoni atau formal. Dalam bahasa lain yang sekarang lebih sering digunakan, negara hanya menjalankannya secara performatif alias untuk menunjukkan sebuah itikad secara permukaan, tanpa menerapkannya secara menyeluruh di seluruh lini kebijakan.

Ada perbedaan di antara kedua keterbatasan tersebut. Dalam persoalan pertama, negara tidak mampu menjalankannya terhadap semua warga negara. Dalam persoalan kedua, ia tidak mampu menerapkannya terhadap diri sendiri, alias menjadi kebijakan sektoral saja.

Di kasus Bolivia, menurut Elija Maria Ranta, yang terjadi adalah Vivir Bien justru mempertegas garis pemisah antara negara dan masyarakat sipil, seolah menggarisbawahi otoritas negara dalam implementasi falsafah yang seharusnya bersifat inklusif dan jamak. Relasi yang bisa menjadi sangat cair akibat pelibatan masyarakat sipil seolah perlu ditegaskan ulang oleh negara sebagai otoritas pembangunan, di mana pemisahan inilah yang tidak serta-merta diimajinasikan oleh vivir bien. Dalam bahasa Ranta, yang terjadi adalah upaya pendisiplinan massa, alih-alih sebuah gerakan yang mampu mendekolonisasi negara (“instead of decolonizing the state, it is used to discipline the masses”).

Penutup

Tentu banyak dinamika lokal di Bolivia yang belum bisa kita pahami seutuhnya. Namun setidaknya, pelajaran dari Bolivia yang bisa kita petik adalah pertama-tama, bagaimana falsafah-falsafah lokal bisa menemukan pengakuannya, dan tidak lagi sebatas prinsip yang hanya didengungkan oleh masyarakat adat.

Di indonesia, kearifan lokal cenderung dicibir karena malah dianggap menunjukkan keterbelakangan ketimbang cara berpikir modern. Modernisasi yang kita inginkan sebagian besar justru hanya menunjukkan inferioritas secara epistemologi – karena takut dianggap terbelakang dan tidak menjalankan resep-resep pembangunan yang sudah terbukti. dan kearifan lokal tersebut tidak bertumpu pada dasar berpikir yang ilmiah atau terbangun secara saintifik.

Padahal, beberapa prinsip hukum adat seperti Sasi merupakan gagasan yang bisa menjadi salah satu prinsip pembangunan alternatif. Kalau Sasi bisa diterima sebagai dasar kemungkinan pembangunan di tingkat lokal, itu sudah lebih dari cukup. Bagaimanapun juga, kekuatan terbesar dalam mencari pembangunan alternatif ada pada pluriverse: harusnya ini yang menjadi persamaan tersebar antara Indonesia dengan para rekan sejawat kita di Amerika Latin.

Dalam konteks Indonesia, terlalu banyak tantangan bagi prinsip pembangunan yang dibungkus kearifan lokal untuk bisa diterima di tingkat nasional. Pun, ketika ia sudah harus masuk dalam pertarungan di ranah nasional, kemungkinan ia dikooptasi oleh para elit dengan berbagai  kepentingan politik yang menafikan suara-suara arus bawah.


[1] Istilah Vivir Bien juga dikenal dengan Buen Vivir yang lebih dikenal di Ecuador, dan dipopulerkan antara lain oleh Arturo Escobar dalam bukunya Encountering Development. Karena contoh yang dibahas dalam tulisan ini adalah Bolivia, maka istilah yang digunakan adalah Vivir Bien.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *